El-EIBAR

© Mohamed Abd El Ghany/Reuters

Liga Arab: Sejarah, Konflik, dan Kegagalan

Sejarah

Selama Perang Duni I, gelombang pan-Arabisme muncul sebagai oposisi terhadap pemerintahan Kesultanan Ottoman. Syarif Mekkah (Hussein bin Ali Al-Hashimi) memimpin pemberontakan Arab melawan Kesultanan Ottoman dengan bantuan pasukan Inggris. Inggris mendukung bangsa Arab membentuk negara merdeka.

Perang Dunia II, Inggris sekali lagi menjanjikan dukungan penuh untuk persatuan bangsa Arab. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Anthony Eden dalam pidatonya di Mansion House pada Mei 1941. Didorong oleh berita tersebut, muncul keinginan di antara negara-negara Arab di Timur Tengah untuk mendirikan organisasi. Harapannya, organisasi tersebut bisa mewadahi program-program politik, budaya, sosial, ekonomi, hingga sebagai penengah jika ada perselisihan di antara negara Arab maupun dengan pihak ketiga.

Keengganan atas ajakan Inggris untuk bergabung dalam pasukan Perang Dunia II itu muncul karena di saat yang bersamaan semangat antikolonialisme sedang mekar di sebagian besar negara-negara Arab. Mesir saat itu masih menjadi negara boneka imperialis di bawah Protektorat Britania (1882-1952). Sementara Yordania, Bahrain, Irak, Uni Emirat Arab, Qatar dalam mandat Inggris; sedangkan Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Suriah dalam mandat Perancis.

Negara-negara Arab, dalam catatan Council of Foreign Relation, justru melihat dukungan Inggris ini sebagai motivasi untuk segera membentuk kesatuan pan-Arab yang akan meningkatkan dukungan bagi orang-orang Arab Palestina. Proses ini memuncak pada 1944 saat Protokol Alexandria -sebagai cetak biru pendirian Liga Arab- ditandatangani Mesir, Suriah, Irak, Lebanon, Transjordan (kini Yordania), Yaman, dan Arab Saudi.

Sampai akhirnya, beberapa bulan sebelum Perang Dunia II usai, pada 22 Maret 1945, negara-negara Arab itu resmi mendirikan Al-Jāmiʿa Al-'Arabīyah atau Liga Arab di Kairo. Liga Arab dipimpin sekretaris jenderal. Badan tertinggi liga adalah Dewan Liga, yang terdiri dari perwakilan negara-negara anggota. Dewan bertemu dua kali dalam setahun di tiap bulan Maret dan September serta dapat mengadakan sesi pertemuan khusus jika ada permintaan dari dua negara anggota.

Di awal pendirian liga, masalah yang dibahas adalah seputar pembebasan negara-negara Arab dari kolonialisme serta mencegah komunitas Yahudi di Palestina untuk mendirikan negara Israel. Lalu berlanjut ke perjanjian kerja sama militer dan ekonomi.

Delapan tahun setelah pembentukan liga, keanggotaannya bertambah. Mulai dari Libya (1953); Sudan (1956); Tunisia dan Maroko (1958); Kuwait (1961); Aljazair (1962); Bahrain, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab (1971); Mauritania (1973); Somalia (1974); Organisasi Pembebasan Palestina (PLO, 1976); Djibouti (1977); dan Komoro (1993).

Anggota

Data tahun 2020. 22 negara: Aljazair, Bahrain, Komoro, Djibouti, Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Lebanon, Libya, Mauritania, Maroko, Oman, Palestina, Qatar, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, UEA, dan Yaman.

Liga Arab yang Susah untuk Bersatu

Roberto M. Rodriguez dalam The Successes and Failures of the Arab League (2015) mencatat sejumlah pencapaian dari terbentuknya Liga Arab. Contohnya seperti pendirian Arab Telecommunications Union pada 1953; Arab Postal Union pada 1954; Arab Development Bank (kemudian menjadi Arab Financial Organization) pada 1959; Organisasi Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Liga Arab (ALECSO) pada 1964; dan Arab Common Market pada 1965.

Dalam kancah politik, organisasi ini mendukung kedaulatan dan kemerdekaan negara anggota dari kekuatan Barat. Pada 1945 Liga Arab mendukung Suriah dan Lebanon mengakhiri penjajahan Perancis dan mendukung kemerdekaan Libya. Pada 1961 mendukung Tunisia dalam konfliknya dengan Perancis. Saat Israel mendeklarasikan kemerdekaannya dan membentuk negara Yahudi pada 1948, lima negara pendiri bertempur melawan Israel dalam Perang Arab-Israel 1948. Konflik itu menandai aksi besar pertama Liga Arab.

Berikutnya, aksi boikot minyak kepada negara-negara yang mendukung Israel dalam perang Arab-Israel 1973 menjadi salah satu pencapaian Liga Arab yang mencolok dunia. Pemberian mandat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai wakil dari semua rakyat Palestina juga lahir dari keputusan Liga Arab pada 1979.

Namun, Liga Arab sejatinya tidak memiliki mekanisme untuk memaksa anggotanya agar mematuhi resolusinya, kekosongan yang menyebabkan kritik seperti Associate Professor NYU Mohamad Bazzi menggambarkan organisasi tersebut sebagai "masyarakat debat yang dimuliakan/glorified debating society."

Misalnya pada piagam Liga Arab. Piagam tersebut menyatakan bahwa keputusan yang diambil oleh mayoritas “hanya akan mengikat [negara] yang menerimanya,” yang menempatkan kelas khusus pada kedaulatan nasional dan membatasi kemampuan liga untuk mengambil tindakan kolektif. Meskipun beberapa tindakan diambil di bawah perlindungan Liga Arab, tindakan tersebut seringkali hanya dilakukan oleh sebagian kecil faksi. Bazzi berkata, “Selama perang saudara di Lebanon, Liga Arab memiliki keberhasilan terbatas dalam upaya membantu merundingkan perdamaian, tetapi pada akhirnya kekuatan individu, dalam hal ini Suriah dan Arab Saudi, yang membantu mengakhiri konflik dengan mengadakan Perjanjian Thaif yang secara teknis itu berada di bawah pengawasan liga, tapi secara lapangan berada di bawah kekuatan dua negara Arab Saudi dan Suriah.”

Pada tahun 1948, anggota Liga Arab yang baru dibentuk itu mengangkat senjata melawan negara Israel setelah deklarasi kemerdekaannya. Konflik tersebut menandai aksi besar pertama liga Arab dan yang pertama dari beberapa konflik berdarah antara pasukan Arab dan Israel atas masa depan Palestina.

Kekalahan bangsa Arab yang diakibatkannya, yang dikenal sebagai Nakba atau "malapetaka", merupakan momen yang memilukan. Masalah Palestina telah lama menjadi katalisator aksi kolektif Arab. Liga Arab menekankan pentingnya perjuangan Palestina pada tahun 1964 dengan pembentukan Tatanan Pembebasan Palestina (Palestinian Liberation Order), yang piagamnya menyatakan bahwa "pembebasan Palestina, dari sudut pandang Arab, adalah tugas nasional."

Menyusul kekalahan signifikan lainnya oleh Israel pada tahun 1967, liga Arab mengeluarkan Resolusi Khartoum, yang sering dikenang karena tiga "tidak" (3 NO): "tidak ada perdamaian dengan Israel, tidak ada pengakuan atas Israel, tidak ada negosiasi dengannya." Liga Arab telah mempertahankan boikot resmi atas barang dan perusahaan Israel sejak 1948, tetapi mengukur efek larangan itu sulit karena penegakan hukum yang lemah dan arus perdagangan yang terbatas.

Namun, kebijakan terhadap bangsa Yahudi tidak berkembang secara seragam. Postur-postur ini, serta hubungan antar negara anggota, dibentuk oleh faktor-faktor termasuk ambisi teritorial individu, aliansi Perang Dingin yang berkembang, dan persaingan antar-Arab.

Tetapi masalahnya adalah ketika konflik terjadi di antara negara anggota, Liga Arab mendadak tak punya taji. Liga Arab tidak pernah menjadi sebuah badan yang benar-benar mampu mempersatukan negara-negara Arab. Anggotanya terdiri dari negara-negara miskin dan yang super kaya, republik revolusioner dan monarki, negara-negara pro-Barat dan anti-Barat.

Menurut UNHCR, negara-negara yang menampung para pengungsi dalam konflik era Arab Spring adalah negara-negara dengan kondisi ekonomi relatif lemah, seperti Lebanon, Yordania, Irak, dan Mesir. Sedangkankan absesnnya negara kaya seperti Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, dan UEA menunjukkan bahwa pelaksanaan diplomasi politik Liga Arab masih sangat buruk.

© www.insightsonindia.com

Konflik

Benih-benih konflik dimulai pasca Perang Dunia II, proyek pan-Arab di Mesir yang dipimpin Gamal Abdul Nasser di tahun 1952, peristiwa kudeta militer pertama di dunia Arab, dipandang sebagai kemenangan melawan imperialisme Barat dan inspirasi bagi negara-negara Arab lainnya. Gesekan antar negara Arab, termasuk implikasi strategis sumber daya minyak. Persatuan Mesir-Suriah yang dikenal United Arab Republic yang hancur dalam 3 tahun (1958-1961). Pecahnya perang saudara di Yaman pada tahun 1962. Bahkan Palestina terbukti menjadi sumber pertikaian ketika anggota Liga Arab berlomba-lomba untuk menegaskan kendali atas PLO (Palestine Liberation Organization).

Persatuan Liga Arab tercermin saat Perang Teluk II (1990-1991). Perang itu dipicu invasi Irak era Saddam Husein atas Kuwait pada 1990 karena perselisihan minyak dan politik. Dunia internasional, atas pengaruh Amerika Serikat, kemudian mengembargo perdagangan dengan Irak. Pada gilirannya, Kuwait didukung mayoritas negara Arab seperti Mesir, Suriah, Maroko, Qatar, Bahrain, Lebanon, dan ditambah pasukan asing pimpinan Amerika Serikat menyerang Irak dalam Perang Teluk.

Peristiwa paling penting dari periode itu adalah nasionalisasi Mesir atas Terusan Suez pada tahun 1956. Perlombaan senjata ini memuncak dalam Perang Enam Hari tahun 1967, kekalahan tentara Arab yang termasuk pendudukan Israel atas sisa-sisa Arab Palestina. Sejak Liga Arab gagal membendung berdirinya negara Israel dan melancarkan perang Arab-Israel (1948, 1967, dan 1973) yang berakhir kekalahan dan Palestina makin merugi, sederet kekacauan lainnya terus terjadi di dalam tubuh Liga Arab.

Keputusan Presiden Mesir Anwar Sadat untuk membuka perundingan damai sepihak dengan Israel pada 26 Maret 1979, yang lebih dikenal perjanjian Camp David, semakin menggarisbawahi perpecahan Arab. Anggota Liga Arab bertemu di Baghdad dan sepakat menangguhkan Mesir dari keanggotaan Liga Arab dan memindahkan Sekretariat Liga Arab dari Kairo ke Tunisia. Pada tahun 1989, Mesir diterima kembali, dan Kairo kembali menjadi basis operasi Liga Arab.

Dalam kasus krisis Suriah dan Lebanon selama 29 tahun (1976-2005), tentara Suriah menduduki Lebanon. Mulanya, tentara Suriah masuk Lebanon sebagai pasukan perdamaian Arab di saat Lebanon dilanda perang saudara. Liga Arab sudah bergerak dengan mengirim pasukan perdamaian, tetapi diusir pasukan Suriah.

Tentara Suriah bertempur sengit dengan pasukan Israel dan faksi-faksi di Lebanon. Pada puncaknya, jumlah tentara Suriah di Lebanon mencapai lebih dari 30.000 personel sampai keterusan mendominasi kehidupan politik dan ekonomi Lebanon. Presiden Lebanon Elias Sarkis pernah mengadukan permasalahan itu secara resmi di KTT Liga Arab di Maroko pada 1982, namun tak banyak mengubah keadaan di lapangan.

Polarisasi antar anggota Liga Arab makin kentara saat Musim Semi Arab (Arab Spring) di mana gelombang revolusi menyapu Tunisia, Mesir, Libya Yaman, Suriah, hingga Bahrain sepanjang akhir 2010 hingga 2012. Gerakan akar rumput di negara-negara Arab ini menuntut dimulainya demokratisasi politik dibarengi perbaikan di bidang hak asasi manusia, ekonomi, serta penghapusan korupsi, kleptokrasi, hingga sektarianisme.

Konflik di Mesir, ketika rezim diktator Hosni Mubarak tumbang pada 2011, kemudian dari hasil pemilu mengukuhkan Muhammad Mursi dai Ikhwanul Muslimin untuk menggantikan Mubarok. Hanya berjalan satu tahun, Militer di bawah Jenderal Abdel Fattah el-Sisi mengambil alih kuasa pada 2014. Kembali anggota Liga Arab terpecah, Arab Saudi dan Mesir menyebut gerakan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris, sedangkan Qatar mendukungnya.

Sebab dukungan Qatar terhadap kelompok IM, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir dan Bahrain memutuskan hubungan diplomatik dan semua hubungan darat dan udara dengan Qatar pada Juni 2017. Keempat negara itu kompak menuduh Qatar merusak kestabilan wilayah. Mereka turut mengatakan Qatar mendukung kelompok teroris lainnya. Qatar berulang kali membantah keras telah mendanai kelompok ekstremis.

Di Libya, Arab Spring 2011 ditandai dengan unjuk rasa masal yang menginginkan pemimpin Libya, Muammar al-Qaddafi, mundur dari jabatannya. Qaddafi merespon dengan keras para penentangnya sampai akhirnya memantik perang sipil.

Liga Arab memilih mengambil sikap melindungi kelompok oposisi dan turut menginginkan agar Qaddafi sebaiknya mundur. Pada Maret 2011 Liga Arab memberlakukan zona larangan terbang di langit Libya dengan harapan menghentikan serangan udara Qaddafi pada rakyatnya sendiri. Dalam perkembangannya zona larangan terbang berkembang menjadi semacam legitimasi bagi Barat untuk mengintervensi Libya dan menggulingkan Qaddafi pada Agustus 2011.

Pemberontakan Arab di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara yang dimulai pada tahun 2011. Liga Arab menawarkan kesempatan bersejarah untuk mengubah dirinya. Setelah mendukung penggulingan Qaddafi di Libya, Liga Arab mengalihkan fokusnya ke konflik di Suriah. Ini menangguhkan keanggotaan Suriah, menengahi perjanjian perdamaian naas dengan rezim Presiden Bashar al-Assad, dan mengumpulkan tim pengamat untuk memantau implementasi rencananya.

Negara-negara Arab yang bersekutu dengan Amerika Serikat macam Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab memusuhi Presiden Bashar al-Assad dan mendukung kelompok oposisi untuk menggulingkannya. Keanggotaan Suriah dalam Liga Arab dibekukan sejak awal kerusuhan. Sampai Februari 2019, belum ada konsensus di antara anggota Liga Arab untuk mengembalikan status keanggotaan Suriah.

Ketegangan antara Muslim Sunni dan Syiah memperlebar celah di antara negara-negara Arab, yang memburuk setelah munculnya ISIS di Irak. Meskipun Liga Arab mengutuk ISIS, dan kekuatan Sunni seperti Yordania, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) melancarkan serangan udara terhadap organisasi militan tersebut, Liga Arab secara keseluruhan tidak banyak membantu pimpinan Syiah dalam pemerintah Irak. Irak pada gilirannya hanya semakin dekat dengan mitranya Syiah di Iran, menyambut penasihat dari militer Iran dan kelompok yang didukung Iran seperti Hizbullah.

Pada Februari 2020, liga tersebut mengecam rencana perdamaian Timur Tengah yang diajukan oleh pemerintahan Presiden AS Donald J. Trump, dengan mengatakan bahwa itu "tidak memenuhi hak dan aspirasi rakyat Palestina." Namun, beberapa anggota liga tampaknya diam-diam mendukung rencana tersebut: duta besar dari Bahrain, Oman, dan UEA menghadiri pengungkapan rencana tersebut, dan para pemimpin dari Mesir dan Arab Saudi memuji upaya Trump. Yang terbaru ini, Maroko ikut serta dalam rencana normalisasi Israel.

© Reuters

Kegagalan Liga Arab

Lemahnya Liga Arab setidaknya diakui sendiri oleh anggotanya. Dilansir dari Al Arabiya, Maroko pada 2016 pernah memutuskan menunda Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tahunan Liga Arab sekaligus mengumumkan bahwa mereka tidak lagi menjadi tuan rumah acara tersebut. Kementerian Luar Negeri Maroko mengatakan bahwa pertemuan macam itu hanya menghasilkan basa-basi dan memberikan kesan palsu tentang cita-cita persatuan Arab. KTT tersebut akhirnya dihelat di Mauritania dan hanya dihadiri tujuh dari 22 pemimpin anggota Liga Arab.

Seperti yang tertulis pada pasal 12 dalam Piagam Liga Arab yang berbunyi, "keputusan bulat Dewan akan mengikat semua negara anggota Liga; keputusan mayoritas hanya akan mengikat negara-negara yang telah menerimanya.” Dalam sebuah organisasi yang beroperasi berdasarkan konsensus, satu suara yang berbeda dari salah satu anggota cukup untuk menghindari tercapainya suara bulat.

Jadi tidak heran salah satu kenapa Liga Arab tampak ompong dan tidak begitu berguna dalam urusan konflik internal, menurut Rodriguez, adalah karena pengambilan keputusan yang berdasarkan konsensus dan kerap berseberangan.

Ada 2 faktor yang bisa mendukung teori kegagalan Liga Arab.

Pertama: Adanya kepentingan ekonomi AS-Arab. Kebijakan luar negeri AS pasca Perang Dunia II memberikan prioritas terhadap keamanan asset minyak di kawasan Timur tengah. Terlebih ikatan perjanjian ekonomi dengan negara anggota GCC.

Kedua: adanya relasi AS-Israel. ‘Kepentingan nasional’ ini pula yang selama ini dipakai oleh para petinggi AS dalam menjustifikasi pembelaan mereka terhadap Israel. Obama dalam pidatonya di depan AIPAC (organisasi lobby Yahudi terbesar di AS) menyebut ‘kesamaan kepentingan’ sebagai landasan politik luar negerinya terhadap Israel.

Kesimpulan dari 2 faktor adalah, kebijakan AS di kawasan hanya ada dua, menjaga keamanan suplai minyak dan menjaga kepentingan Israel.

Hubungan Indonesia dengan Liga Arab

Pada sela-sela Sidang Majelis Umum PBB ke-71 di New York tahun 2016, Pemerintah Indonesia di bawah Kementerian Luar Negerinya menandatangani keputusan bersama dengan Liga Arab untuk meningkatkan kerja sama nyata di berbagai bidang yang tertuang dalam Memorandum of Cooperation (MoC). Bidang kerja sama yang tercakup di dalam MoC tersebut antara lain perdamaian dan keamanan, ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kebudayaan.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno L.P. Marsudi mengatakan, “Dengan ditandatanganinya MoC tersebut Indonesia memiliki akses terhadap 22 anggota Liga Arab, sehingga kerja sama yang dapat dilakukan dengan negara-negara di kawasan tersebut akan semakin luas dan intensif.”

Penandatanganan MoC ini merupakan capaian signifikan hubungan Indonesia dengan Liga Arab, serta mendorong kemitraan dengan organisasi tersebut menjadi lebih terbuka dan konkret. Kedua pihak juga berkomitmen untuk terus menjaga kesinambungan kerja sama ini di masa depan.

Referensi

Firman, T. 22 Maret 2019. Sejarah Liga Arab: Tak Banyak Berkutik saat Anggotanya Bertikai. Tirto.id. https://tirto.id/sejarah-liga-arab-tak-banyak-berkutik-saat-anggotanya-bertikai-djuQ. Di akses pada 22 Desember 2020.

Masters, J. & Sergie, M. A. 19 Februari 2020. The Arab League. Council on Foreign Realtion. https://www.cfr.org/backgrounder/arab-league. Di akses 22 Desember 2020.

Maulana, V. 25 September 2016. RI-Liga Arab Sepakat Tingkatkan Kerjasama di Berbagai Bidang. Sindonews.com. https://international.sindonews.com/berita/1142170/42/ri-liga-arab-sepakat-tingkatkan-kerjasama-di-berbagai-bidang. Di akses pada 22 Desember 2020.

Pradana, A. M. N & Yulianti, D. Mei 2018. Peran Liga Arab Pada Konflik Timur Tengah Dalam Perspektif Ekonomi-Politik Internasional. Jurnal ICMES Vol. 1, No. 1, hal. 99-120.