Sudah jelas, sebelum kita menuduh apapun, alangkah baiknya untuk dapat mengetahui sumber darimana datangnya Islam. Perjalanan ekspolari mengetahui sumber Islam dimulai dengan pembawa agama ini, Nabi Muhammad dengan kitab suci yang dibawanya, Al-Quran.
Nabi Muhammad adalah panutan bagi umat Islam yang taat. Untuk mendukung fakta bahwa Islam menekankan kedaimaian, perlu ditinjau pada perilaku beliau di Mekah. Selama dua belas tahun lamanya, ia menanggung penganiayaan di kota itu tanpa satupun perlawanan, sebaliknya ia menekankan pada kesabaran.
Hijrah nabi Muhammad beserta pengikutnya dari Mekah ke Madinah merupakan momen penting dalam Islam. Gagasan emigrasi ini sebagai bentuk protes tanpa kekerasan adalah inti Islam, karena mereka percaya bahwa dengan melakukan itu mereka mengikuti jejak Muhammad dan para sahabatnya.
Bahkan setelah emigrasinya ke Medina, Muhammad sering menggunakan diplomasi yang terampil daripada perang untuk menenangkan musuh-musuhnya. Dan ketika Nabi Muhammad dengan penuh kemenangan kembali memasuki Mekah, dia memaafkan penduduknya bukannya membalas dendam.
Karen Armstrong, dalam bukunya yang berjudul The Last Time Muhammad, menyebutkan bahwa dalam biografi tradisional menjelaskan meskipun umat Islam generasi awal harus berjuang untuk bertahan hidup, namun Nabi Muhammad tidak mencapai kemenangan dengan pedang, melainkan dengan kebijakan non-kekerasan yang kreatif dan cerdik.
Adapun kitab suci Islam, Al-Quran sangat jelas mengandung, bagaimanapun, beberapa ayat melarang agresi. Al-Quran dengan tegas menentang penggunaan kekerasan dalam masalah agama. Ada banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman untuk bersikap baik dengan orang lain. Di antara kualitas yang dianjurkan adalah cinta, kebaikan, kasih sayang, pengampunan, dan belas kasihan. Al-Qur’an juga menggarisbawahi bahwa pengampunan atas perbuatan buruk adalah kualitas yang jauh lebih mulia daripada balas dendam
Penyebaran Islam
Selama ini proses penyebaran Islam menimbulkan kontroversi. Banyak pengkritik menuduh konversi orang ke Islam sering terjadi di ujung pedang. Namun pada kenyataannya sangat berbeda. Sangat kontardiktif dengan stereotip, di mana pesan Islam sering tersampaikan secara damai oleh tarekat sufi.
Cendekiawan Khalid Kishtainy, mengatakan bahkan kecakapan militer orang Arab dan pencapaian penaklukan mereka setalah kedatangan Islam sangat dilebih-lebihkan. Kebanyakan dari mereka kalah dan ditaklukkan oleh Persia dan Bizantium. Orang Arab tidak pernah memiliki kelas militer yang mumpuni, tidak seperti samurai di Jepang atau orang-orang Prusia di Jerman. Sebaliknya, nenek moyang orang Arab adalah pedagang, bahkan di Baghdad telah dikenal sebagai pusat pembelajaran dan rujukan ilmu pengetahuan. Dan jelas, perilaku mereka jauh dari kata kasar.
Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menghormati Ahli Kitab, dan itulah tepatnya yang mereka lakukan selama ini. Oleh karena itu, sejarah awal Islam dibuka dengan latar belakang toleransi terhadap agama-agama yang ditaklukkan.
Islam dan Doktrin Jihad
Gagasan jihad dalam Islam adalah sesuatu yang sangat kontroversial, dan merupakan sesuatu yang harus dihadapi. Tidak dapat disangkal fakta bahwa kekerasan yang diilhami agama telah menjadi berita utama ketika menyangkut Islam. Sebenarnya, pengertian jihad memiliki nuansa yang sangat kompleks.
Kata jihad sendiri berarti berjuang. Jihad adalah kata benda verbal dari bentuk Arab ketiga dari akar jahada, yang secara klasik didefinisikan sebagai mengerahkan kekuatan, upaya, usaha keras, atau kemampuan dalam menghadapi suatu objek celaan. Objek seperti itu sering dikategorikan dalam literatur sebagai berasal dari salah satu dari tiga sumber: musuh yang terlihat, kejahatan, dan aspek diri sendiri. Karena itu, ada banyak jenis jihad, dan kebanyakan tidak ada hubungannya dengan peperangan.
Sebagai contoh sederhananya adalah jihad hati yang melibatkan perjuangan melawan kecenderungan melakukan dosa. Begitu juga dengan jihad lidah yang mengharuskan berbicara jujur dan baik.
Terdapat perbedaan antara jihadi akbar (jihad besar) dan jihadi asghar (jihad kecil). Jihadi akbar menggabungkan perjuangan melawan naluri dasar dalam diri sendiri, seperti godaan keduniawian, dan mengejar kebenaran melalui peningkatan kesadaran Tuhan dalam diri sendiri. Ini mencakup berbagai hal, dari penyebaran pengetahuan dan kebijaksanaan hingga penghapusan kejahatan dan memerangi negatif sosial seperti ketidakadilan dan kemiskinan. Jihadi asghar adalah salah satu yang lebih dikenal secara global dan merupakan cara berperang, dan tentunya dengan memenuhi syarat dan rukun perang yang tertuang dalam ajaran Islam. Seperti tidak diperbolehkannya membunuh perempuan dan anak-anak, serta larangan merusak tempat ibadah.

Islam dalam Gerakan Non-Kekerasan
Beberapa cabang Islam telah menunjukkan kecenderungan pasifis non-kekerasan. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Sufi, yang pasifisme dan toleransinya diakui bahkan oleh banyak kritikus Islam. Sufisme telah memainkan peran besar dalam Islam di Asia Selatan, Tenggara, dan Tengah, dan karenanya mengherankan bahwa aspek agama ini hampir sepenuhnya terabaikan di Amerika Serikat.
Sufisme telah menjadi bagian integral dari Islam, dan Sufi turut bertanggung jawab atas penyebaran Islam. Para Sufi tidak memiliki prinsip yang berbeda dari Muslim lainnya; mereka hanya berbeda dalam penekanannya. Misalnya, konsep sentral bagi Sufi adalah tauhid, atau kesatuan, yang dapat diartikan sebagai kesatuan umat manusia dan eksistensi, bukan hanya umat Islam. Perpanjangan dari pandangan ini adalah penekanan Sufi pada perdamaian. Inti dari tasawuf adalah pesan perdamaian, cinta, dan toleransi.
“Kita seharusnya tidak membawa pedang di tangan kita, kita harus menanamkan nilai kesabaran dalam hati kita. Kita seharusnya tidak mempersenjatai diri dengan senjata, melainkan harus dipersenjatai dengan kepuasan. Kita seharusnya tidak menaruh kepercayaan kita dalam pertempuran, sedangkan kita harus menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Ini adalah senjata Islam yang sebenarnya,” isi pidato Bawa Muhaiyaddeen, seorang pengkotbah sufi terkenal di tahun 1986.
Kemudian pada penerapan skala besar non-kekerasan dalam masyarakat Muslim modern. Salah satu contoh paling luar biasa dari perlawanan tanpa kekerasan dalam sejarah, yang hampir sepenuhnya terabaikan oleh Barat, ialah perlawanan Khan Abdul Ghaffar, keturunan Taliban, beserta pengikutnya. Ia mendirikan pasukan perdamaian lebih dari 100.000 orang Pashtun yang didedikasikan untuk reformasi sosial dan protes tanpa kekerasan di wilayah dunia yang saat ini paling erat terkait dengan terorisme, perbatasan Pakistan-Afghanistan.
Terlepas dari dari seberapa besar penindasan Inggris terhadap kaumnya, Khan beserta pengikutnya tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka. Gerakan ini memiliki prinsip-prinsip dasar non-kekerasan, reformasi masyarakat, toleransi beragama, keadilan sosial, dan hak-hak perempuan. Bagi Khan, inti Islam adalah non-kekerasan dan penuh kedamaian.
Dua contoh di atas merupakan secuil kisah dibalik fakta sejarah bahwa agama Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian dan agama non-kekerasan. Islam juga mendefinisikan bahwa ajarannya adalah penuh kelembutan atau al-hanafiyah as-samhah, yang menjadikan toleransi sebagai nilai utama dalam Islam.
Penulis Mesir terkenal Alaa al-Aswany mengutip cerita berulang tentang kasih sayang Muhammad terhadap anak-anak, “Bagaimana orang bisa menggunakan nama nabi yang sama untuk membunuh?” tanya al-Aswany. “Anda dapat melihat dengan jelas telah terjadi penafsiran yang buruk terhadap Islam.”
Islam, sama seperti agama lain, memiliki sisi positif dan negatifnya. Fokus tanpa henti pada hal-hal negatif telah membanjiri bahkan menutupi aspek-aspek positif dari agama dan para pemeluknya. Tulisan ini merupakan kontribusi kecil untuk memperbaiki ketidakseimbangan itu dan menyoroti ketegangan non-kekerasan yang sering diabaikan dan hadir dalam Islam.