Penelitian ini (Can Islamists Become Moderates? Rethinking The InclusionModeration Hypothesis) ditulis oleh Jillian Schwedler yang diterbitkan dalam jurnal world politics volume 63, nomor 02, pada April 2011. Penulis mengawali penelitian ini dengan sebuah pertanyaan mengapa keyakinan dan praktik kelompok Islam selalu berubah dari waktu ke waktu? Lalu proses, mekanisme, dan institusi apa yang mendorong mereka berubah? Kemudian, ia mencoba meneliti gelombang baru-baru ini yang menguji hipotesis moderasi inklusi dengan berpacu pada politik Islam. Didapati adanya sebuah gagasan bahwa kelompok politik dan individu dapat menjadi lebih moderat sebagai akibat dari inklusi mereka dalam proses politik pluralis. Schwedler, sang penulis jurnal, dalam hal ini mengadopsi sebagian besar intervensi dengan mengadopsi salah satu dari tiga fokus: (1) moderasi perilaku kelompok; (2) moderasi ideologis kelompok; (3) moderasi ideologis individu. Jadi, ditemukan adanya dua pembagian diskusi utama antara moderasi dan dikotomi moderat-radikal.
Istilah moderat dan radikal digunakan secara umum untuk mencerminkan posisi aktor vis-à-vis sistem atau praktik politik, bahkan ekonomi maupun sosial yang ada. Penulis menjabarkan lebih jauh apa yang dimaksud moderat dan radikal. Moderat secara konvensional adalah mereka yang mencari perubahan bertahap dengan bekerja dalam sistem politik yang ada, sedangkan radikal adalah sebaliknya, berusaha untuk menggulingkan sistem politik yang ada secara keseluruhan. Namun ada sedikit pengertian berbeda, beberapa penelitian lainnya disebutkan bahwa kaum Islamis yang melalui jalur hukum yang ada, seperti ikut dalam pemilihan umum, dicirikan sebagai moderat, sedangkan mereka yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka digambarkan sebagai radikal. Peneliti agak sedikit mengsanksi istilah kedua ini, misalnya saja ada kelompok-kelompok politik yang menggunakan kekerasan politik yang digunakan untuk memajukan agenda ideologis radikal seperti Hizbullah dan Al-Qaeda. Karena itu, istilah perbedaan moderat-radikal masih dalam perdebatan, tergantung aspek, kondisi, dan sudut pandangnya.
Dalam penelitian ini, Schwedler memberikan model ilmiah yang menuntun ke berbagai cara untuk menentukan apakah moderasi telah terjadi dan juga untuk mengidentifikasi mekanisme yang menyebabkan perubahan itu. Model pertama, (1) Moderasi Perilaku Kelompok. Moderasi memerlukan modifikasi perilaku dan ideologi karena dibawa sejalan dengan aturan main yang diartikulasikan dan dipertahankan oleh aktor dan lembaga pemerintah. Model kedua, (2) adalah Moderasi Ideologis Kelompok. Kepemimpinan karismatik sangat penting untuk memberikan argumen ideologis kepada kelompok yang lebih luas dan konstituennya yang dapat membenarkan langkah menuju moderasi melalui ceramah atau pertemuan. Moderasi yang dibagikan dalam bahasa platform publik dan politik. Model ketiga (3) Moderasi Ideologis Individu. Model ketiga ini memusatkan perhatian pada cara-cara di mana nilai-nilai dan komitmen-komitmen Islamis individual maupun seluruh kelompok berkembang dari waktu ke waktu.
Pada kesimpulannya, Schwedler mengungkapkan bahwa terkait hipotesis inklusi-moderasi tentang bagaimana mengetahui secara pasti apakah kaum Islamis benar-benar bersungguh-sungguh dengan apa yang mereka katakan akan membutuhkan kemungkinan bahwa perilaku seseorang dapat bertentangan dengan komitmen ideologisnya yang sejati. Dengan demikian juga membutuhkan aktor otonom dan rasional yang mampu bertindak dengan cara yang menutupi apa yang benar-benar mereka yakini. Jika kaum Islamis benar-benar fanatik terhadap ideologis yang irasional, tidak mungkin ada cara untuk memahami atau memprediksi tindakan mereka, namun jika mereka rasional maka dirasa perlu adanya kemampuan dalam menyesuaikan segala tindakannya. Memang, bias normatif mendasari banyak literatur inklusi-moderasi, di mana Schwedler dalam penelitiannya menginginkan kaum Islamis menjadi lebih moderat.
Menyangkut penilaian, saya berpendapat bahwa moderasi adalah proses menuju sikap yang moderat. Sudah banyak pembahasan dalam literatur teori modernisasi serta transisi demokrasi dengan istilah yang selalu berpasangan, seperti moderat dengan radikal, teknokasi dengan teokrasi, reformasi dengan konservatif dan lain sebagainya. Dikatakan moderat jika aktor politik mendukung model kepemimpinan transisi menuju demokrasi, sedangkan radikal dipahami sebagai gerakan menuntut perubahan atau revolusioner. Moderat juga dapat dipahamai sebagai pro-demokrasi, menerima perubahan terbatas guna memberikan ruang pada pemimpin yang lama. Sedangkan radikal dapat dipahami sebaliknya, di mana menolak sistem substantif pada perubahan dan sangat berlawanan dengan konfigurasi kekuatan status quo.
Demikian halnya dengan Islam dan Islamisme, Islam agama yang kompatibel dengan modernitas demokrasi sipil, tetapi Islamisme adalah ideologi politik anti-demokrasi. Islam didefinisikan dalam Al-Quran sebagai jalan menuju berkah Tuhan dan keselamatan abadi, sedangkan Islamisme sebagai proyek politik yang berusaha untuk memberi energi dan mengatur umat Islam guna berjuang melawan apa yang dianggapnya sebagai sistem kafir yang didominasi Barat. Lebih khusus lagi, ideologi Islamis menolak modernitas agama dan berusaha menentang Islam melawan pemahaman sekuler, pluralistik, dan liberal, serta ruang publik yang demokratis. Islamis membayangkan Islam sebagai sistem totalistik dan ilahi untuk mengatur politik, budaya, hukum dan kehidupan ekonomi. Bagi mereka, Al-Quran telah menawarkan blue print program untuk Negara Islam yang berisi panduan untuk semua aspek kehidupan sehari-hari.

Lebih dari itu, sebenarnya Islamisme hanyalah salah satu interpretasi Islam oleh penganutnya. Dalam pemahaman Islam alternatif yang mungkin secara luas digambarkan sebagai Islam Sipil atau Civil Islam. Bahwa sejatinya Islam tidak dikorupsi atau diubah menjadi ideologi politik, serta tidak juga berpusat pada negara. Sebaliknya, fokus utama Civil Islam adalah pada pengembangan spiritual individu Muslim dan promosi kondisi umum untuk kemajuan manusia, termasuk masyarakat sipil yang kuat, hak asasi manusia, kebebasan beragama, perdamaian, etika, keadilan sosial dan pembangunan ekonomi, supremasi hukum, dan sebagainya. Tidak seperti kaum Islamis, para praktisi Muslim Civil Islam tidak memandang Barat atau sekularisme modern sebagai musuh. Sebaliknya, perhatian utama mereka adalah menjalankan perintah inti Islam dari amar ma'ruf nahi munkar, dengan melakukan perbuatan baik dan bertindak dengan cara yang benar dan saleh. Civil Islam juga kritis terhadap ideologi sekularis anti-agama, mereka menekankan selama hak asasi manusia dan terutama kebebasan beragama dan berekspresi dijamin, maka tidak ada alasan atau kebutuhan revolusioner untuk mencari Negara Islam.
Hefner (2000) mengatakan dalam bukunya, bahwasanya civil Islam tidak menentang negara tetapi sangat bergantung pada peradabannya. Negara harus membuka diri untuk partisipasi publik. Pada saat yang sama, pengadilan independen dan lembaga pengawas harus siap untuk campur tangan ketika, seperti yang pasti terjadi, beberapa warga negara atau pejabat mencoba untuk menggantikan proseduralisme demokratis dengan kekerasan dunia bawah. Seperti yang sering diingatkan oleh kelompok yang main hakim sendiri dan pembenci, tidak semua organisasi dalam masyarakat adalah sipil, dan negara harus bertindak sebagai penjaga kesopanan publik serta kendaraan kehendak rakyat. Demokrasi pada akhirnya membutuhkan budaya publik untuk mempromosikan kebiasaan universal partisipasi dan toleransi. Demokrasi tidak hanya bergantung pada negara tetapi juga pada budaya dan organisasi dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan budaya adalah variabel yang benar-benar penting bagi demokrasi. Oleh karena itu, demokratisasi tidak melibatkan salah satu dari fenomena ini tetapi keduanya dalam interaksi timbal balik.
Kembali pada pembahasan moderasi, ketika dikatakan kaum Islamisme mengalami perubahan perilaku dan ideologi, maka kemudian akan menjadi pos-Islamisme. Asef Bayat (1996) menjelaskan post-Islamisme adalah kondisi politik sosial di mana daya tarik, energi, simbol, dan sumber legitimasi Islamisme menjadi kosong dan tak bernilai di antara para pendukungnya yang dulu sempat bersemangat menerapkannya. Dengan kata lain, pos-Islamisme adalah hasil dari praktik Islamisme politik yang gagal. Ketika kaum Islamis menyadari anomali dan kekurangan gerakan mereka ketika mencoba untuk memerintah, mereka menjadi dipaksa, baik oleh kontradiksi internal Islamisme sendiri maupun oleh tekanan masyarakat, untuk menilai kembali dan menemukan kembali ideologi politik mereka melalui persaingan demokratis dengan kecenderungan intelektual dan agama lainnya. Dengan demikian, Bayat lebih lanjut mendefinisikan post-Islamisme sebagai proyek politik, atau upaya sadar untuk mengkonseptualisasikan dan menyusun strategi rasionalitas dan modalitas untuk melampaui Islamisme dalam domain sosial, politik, dan intelektual.
Menurut Asef Bayat (2007), pos-Islamisme mengakui urgensi sekuler dan mencari kebebasan dari kekakuan dalam meruntuhkan monopoli kebenaran agama. Singkatnya, sementara Islamisme merupakan perpaduan agama dengan ideologi politik dan konsepsi hukum ilahi yang diinstrumentalkan, post-Islamisme menekankan religiusitas dan hak asasi manusia dan tanggung jawab etis. Jadi, sebagai gerakan politik, pos-Islamisme dapat masuk ke dalam diskusi yang bermanfaat dengan tren lain, termasuk modernitas agama dan liberalisme. Untuk alasan ini, pos-Islamisme sebagai proyek politik memiliki potensi sebagai jembatan kualitatif dan normatif atau transisi dari Islamisme menuju Civil Islam. Namun, pada saat yang sama, kaum pos-Islamis tetap rentan terhadap ideologi revolusioner dan otoritarianisme yang melekat pada Islamisme.
Kemudian muncul pertanyaan selanjutnya terkait judul dari penelitian Schwedler, can islamists become moderates? Apa ciri-ciri Muslim yang moderat itu? Dan bagaimana dapat disebut Muslim radikal? Di lain sisi, banyak dari beberapa pemimpin Muslim menyangkal adanya hubungan antara agama Islam dengan terorisme. Jika kita menerima klasifikasi konsentris yang sederhana, dan sederhana ini, di mana kita harus menempatkan ‘Muslim moderat’? Apakah mereka, alih-alih berada di lingkaran ketiga dan membentuk arus utama, hanya terletak di lingkaran terluar? Lalu apa yang membuat mereka ‘moderat’? Apakah mereka moderat karena 'damai' dan 'menentang terorisme'? Apakah ‘Muslim moderat’ merupakan label yang diterapkan secara eksternal untuk Muslim yang kebarat-baratan dan pro-Barat? Apakah Muslim sendiri menggunakan moderasi sebagai konsep? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu membutuhkan eksplorasi apa arti 'moderat' dalam Islam. Schmid (2017) dalam penelitiannya menukil pendapat Akeel Bilgrami, menurutnya moderat berkomitmen pada sekularisme sementara absolutis berkomitmen pada Syariah (hukum Islam). Entah apa yang dimaksud dari kata absolutis. Angel Rabasa (2007) dalam studi RAND menyebutkan bahwa garis pemisah antara Muslim moderat dan Islam radikal di negara dengan mayoritas Muslim dengan sistem hukum berdasarkan Barat adalah apakah syariah harus diterapkan.
Lalu bagaimana seharusnya kita mendefinisikan moderasi dalam politik dan Muslim moderat? Menurut Schmid (2017) moderasi dalam politik mengacu pada perilaku kehati-hatian individu, kelompok, partai, serta platform ideologis rasional mereka, dengan keduanya terhubung karena aktor moderat yang cenderung mencari jalan tengah dalam upaya mendapatkan dukungan pemilih dari berbagai segmen masyarakat. Kaum moderat berusaha mengelola konflik kepentingan dengan melalui dialog, mencari keseimbangan antara posisi pihak yang berlawanan dalam kontes politik, menemukan solusi melalui negosiasi, kompromi dan reformasi, daripada melalui konfrontasi bersenjata dalam bentuk kekerasan. revolusi atau represi bersenjata. Bagi umat Islam di negara-negara mayoritas Muslim, istilah 'moderat' telah digunakan bagi gerakan Islam yang berusaha mencapai tujuan mereka melalui metode bottom-up, non-kekerasan, dan mampu menerima nilai-nilai demokrasi dan mentolerir perspektif selain mereka sendiri. Dalam pengertian yang sama, moderasi ideologis didefinisikan sebagai transformasi bertahap dari nilai-nilai inti dan keyakinan sebuah gerakan dari kaku dan tetap, menjadi fleksibel dan toleran. Dan dari beberapa sumber Islam, istilah moderasi adalah wasatiyyah.
Cucu Hassan al-Banna, Tariq Ramadan, yang mengajar Studi Islam Kontemporer di Universitas Oxford, berpendapat bahwa:
"Tema moderasi dalam praktik keagamaan telah menjadi konstan dalam literatur Islam sejak awal, selama kehidupan Nabi Muhammad di awal abad ke-7. Dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang menyertainya, wanita dan pria Muslim dipanggil untuk bersikap moderat dalam semua aspek kehidupan keagamaan mereka. “Tuhan menginginkan kemudahan bagimu, dan tidak menginginkan kesulitan”. Selama 13 abad terakhir, sebagian besar cendekiawan Islam dan Muslim di seluruh dunia (baik Sunni atau Syiah) telah mempromosikan dan mengikuti jalan moderasi dan fleksibilitas dalam praktik agama mereka."
Apakah moderasi berakar pada Islam itu sendiri atau memang berasal dari luar adalah pokok masalah perselisihan. Islam sendiri, dengan sejarah yang panjang dengan teori dan praktiknya di antara budaya penganutnya yang berbeda-beda, adalah sistem kepercayaan yang jauh lebih luas daripada yang diinginkan oleh kaum fundamentalis Islam. Islam bukanlah agama dalam pengertian sederhana Barat yang dipahami saat ini. Sedangkan Muslim secara teratur diklasifikasi oleh Barat sebagai moderat atau radikal dalam hal pemahaman dan komitmennya terhadap pemahaman jihad, yang secara bahasa bermakna perjuangan di jalan Allah. Begitu juga dalam hal penerapan Syariah atau hukum Allah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh penelitian RAND di atas. Lalu apa nilai-nilai inti modern itu? Pada dasarnya, nilai inti modern itu adalah nilai-nilai deklarasi bersama hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1948 tentang nilai-nilai seperti kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan berbicara, toleransi beragama, kesetaraan gender, supremasi hukum, demokrasi, dan masih banyak lagi.

Kembali pada pembuktian tiga model yang sebelumnya telah dijelaskan dalam penelitian Schwedler di atas. Ia memberikan tiga model ilmiah yang menuntun ke berbagai cara untuk menentukan apakah moderasi telah terjadi dan juga untuk mengidentifikasi mekanisme yang menyebabkan perubahan. Pada studi kasus di kawasan Timur Tengah, mulai dari Tunisia, ke Mesir, kemudian ke Yordania, lalu aktivis dan juga beberapa organisasi Islam kini mengadopsi nada yang lebih progresif dan moderat. Mereka menjangkau minoritas dan juga Muslim sekuler dengan menyingkirkan tujuan awal mereka yang memaksa interpretasi atas keyakinan Islam mereka kepada masyarakat lainnya. Setelah menyaksikan Ikhwanul Muslimin, dengan seruannya untuk menegakkan Syariah (hukum Islam) dan kegagalan untuk menjangkau minoritas dan Muslim sekuler, dikalahkan di Mesir, serta kekalahan kelompok politik Islam lainnya di seluruh dunia Arab, banyak aktivis Islam percaya bahwa mengambil tindakan sikap yang lebih moderat adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Dengan kata lain, gerakan pragmatisme ini lebih lazim digunakan oleh beberapa kelompok Islamis saat ini. Namun banyak kelompok Islam lainnya mengatakan perpindahan mereka adalah langkah alami dalam politik multipartai.
Contoh lainnya seperti partai Islam Tunisia Ennahda. Mereka mendorong moderasi melalui undang-undang kesetaraan gender dan membantu menulis konstitusi kesetaraan gender yang paling progresif di dunia Arab. Pada tahun 2016, anggota Ennahda melangkah lebih jauh dan pada dasarnya menghilangkan kegiatan keagamaan mereka sama sekali, mengubah citra diri mereka sebagai “Muslim demokrat”. Sejalan juga dengan apa yang telah dilakukan Presiden Recep Tayyip Erdogan dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki. Tren ini bahkan telah melampaui batas-batas dunia Arab. Gerakan Pemuda Islam Malaysia (ABIM), didirikan pada tahun 1971 oleh mahasiswa Malaysia yang terinspirasi oleh Ikhwanul Muslimin dan sekarang menjadi salah satu kelompok masyarakat sipil terkuat di negara itu, juga ikut melepaskan label “Islamis”. Melihat fenomena di atas, para ahli mengatakan pergeseran ini adalah evolusi alami untuk ikut ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan di pemerintah untuk pertama kalinya, setelah beberapa dekade berada di pihak oposisi. Para ahli mengatakan evolusi dalam pemikiran politik ini adalah strategi bertahan hidup dan juga pergeseran politik, upaya kaum Islamis untuk mengamankan pijakan mereka dalam kontestasi politik regional Arab maupun dunia Islam seluruhnya.
PUSTAKA ACUAN
Bayat, A. (1996). The Coming of a Post-Islamist Society. Critique: Critical Middle Eastern Studies, Vol. 5, No. 9, Hal. 43-52.
Bayat, A. (2007). Making Islam Democratic: Social Movements and the Post-Islamist Turn. CA: Stanford University Press.
Hefner, R. W. (2000). Civil Islam. United Kingdom: Princeton University Press.
Kömeçoğlu, U. (2014). Islamism, Post-Islamism, and Civil Islam. Hudson Institute. https://www.hudson.org/research/10032-islamism-post-islamism-and-civil-islam.
Schmid, A. P. (2017). Moderate Muslims and Islamist Terrorism: Between Denial and Resistance. International Centre for Counter-Terrorism. The Hague 8, No. 9.
Schwedler, J. (April 2011). Can Islamists Become Moderates? Rethinking the Inclusion-Moderation Hypothesis. World Politics, Vol. 63, No. 02, Hal. 347-376.