El-EIBAR

© Olivier Douliery/Pool via REUTERS

Dalam Dekapan Konflik Rusia-Ukraina, Israel Menggalau

Ketika Ukraina meminta negara-negara di dunia untuk mendukungnya melawan invasi Rusia, Israel membuktikan bahwa beberapa kebiasaan adiktif tidak mungkin dihindari.

Selama dekade terakhir ini, Israel terus merayu Rusia, memupuk hubungan supaya lebih intim sambil mempertahankan aliansi strategisnya dengan 'kekasihnya', Amerika Serikat.

Namun, dalam krisis dunia saat ini, Israel menemukan dirinya terjepit di antara kepentingan dan sikap global yang kontradiktif. Israel bergejolak untuk membuat pilihan yang jelas.

Dalam upaya menghindari dua jurang, Israel telah mencoba menggambarkan dirinya sebagai perantara yang jujur antara Moskow dan Kyiev, mengklaim memiliki kepentingan khusus nan unik.

Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, selama akhir pekan, telah menelpon mitranya masing-masing dari Ukraina maupun Rusia, Volodymyr Zelensky dan Vladimir Putin.

Lucunya, mengutip dari Yossi Melman, jurnalis Timur Tengah, yang mana menurutnya semua itu hanya sandiwara.  Bennet tahu betul bahwa dirinya tidak perlu menjadi perantara, karena Putin tidak tertarik pada solusi untuk mengakhiri perang.

Bagi Putin, hanya penyerahan penuh Ukraina dengan segala isinya yang akan memuaskan dirinya.

Tidak sedikit dari para diplomat dan otoritas Israel ketakutan kalau negaranya bergabung Amerika Serikat dengan sekutunya dalam mengutuk invasi Rusia dan mengikuti untuk menjatuhkan sanksi terhadap oligarki, perusahaan, dan bank Rusia.

Kenapa? karena mereka yakin bahwa hal itu akan menimbulkan kemarahan bagi Putin di Suriah dan sekitarnya.

Sejak Rusia melakukan intervensi di Suriah pada 2015 untuk menyelamatkan pemerintah Bashar al-Assad, Moskow telah memainkan permainan ganda.

Sisi pertama, tentara Putin bekerja sama dengan Garda Revolusi Iran (IRGC) serta milisi Syiah yang bersekutu untuk mengalahkan faksi pemberontak sampai batas tertentu pada ISIS.

Di sisi lain, Rusia menutup mata terhadap lebih dari 1.000 serangan angkatan udara Israel terhadap target Iran dan Hizbullah di Suriah.

Putin telah menghentikan tentara Suriah dari menggunakan pertahanan udara S-300 terhadap jet Israel, sistem yang Moskow sendiri jual ke Damaskus.

Selain itu, pasukan Rusia yang ditempatkan di Suriah dilindungi oleh S-400 yang lebih canggih, membuat serangan jet Israel tidak berdaya terhadap mitra Rusia (Suriah) di darat.

© Sputnik/Evgeny Biyatov/Kremlin via REUTERS

Ikatan kuat sejak dulu

Kedekatan kedua negara dibagun secara pribadi oleh Vladimir Putin dengan mantan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Ia beberapa kali bertemu dengan pemimpin Rusia selama dekade terakhir, dan Putin sesekali mengunjungi Yerusalem.

Selama empat kampanye pemilihan perdana menteri Israel dari 2019 hingga 2021, Netanyahu dengan bangga memajang poster besar dengan gambar dirinya bersama Putin, bertuliskan "different league".

Tak ayal, Putin akan marah jika Israel menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Dan dirinya mungkin menanggapi dengan upaya membatasi aksi militer Israel di Suriah.

Akan tetapi serangan militer Rusia yang mengejutkan dan tak terduga di Ukraina mengungkap kelemahan Putin dan angkatan bersenjatanya. Putin tidak mahakuasa, seperti yang diyakini oleh banyak pakar.

Memang, orang dapat berargumen bahwa sementara Israel membutuhkan Putin untuk melanjutkan operasinya melawan Iran di Suriah, pemimpin Rusia juga membutuhkan Israel.

Nyatanya, hubungan antara Israel dan Rusia setelah perang Ukraina tidak akan menjadi permainan zero-sum.

Kemenangan Putin tidak selalu berarti kekalahan Israel. Analisis yang sama berlaku untuk hubungan segi empat Israel-AS-Iran-Rusia.

Namun demikian, dalam kebimbangan, tentu Israel tidak dapat menghindari pilihan strategisnya. Bagi sebagian besar orang Israel, keputusan yang mereka buat sama-sama akan menghasilkan satu kata, yaitu kemarahan.

Pilihannya hanya dua, kemarahan dari Putin atau Biden.

Telah tayang di Kompasiana: Dalam Dekapan Konflik Rusia-Ukraina, Israel Menggalau Halaman 1 - Kompasiana.com