El-EIBAR

© Ammar Hreib from Pixabay

Diaspora Syiah di Sudan

Filsuf Syiah abad ke-19, Sa’id Jamal Assadabadi (Jamaluddin Al Afghani) telah menyalakan api kebangkitan Islam di kalangan Sunni di Mesir satu dekade sebelum “Mahdist” Muhammad Ahmad muncul dipanggung politik Sudan. Dari pemikiran dan pesan yang ia bawa mengenai pan-islamisme, maka muncullah kelompok Ikhwanul Muslimin (1928) dan revolusi Iran (1979) serta Mahdist di Sudan (1881). Kemudian di tahun 1988, ide pergerakan ini juga menginspirasi Osama bin Laden untuk membentuk al-Qaeda, yang kemudian ia memiliki hubungan erat dengan beberapa tokoh besar di Sudan.

Ketika Sudan merdeka di tahun 1956, wilayah utara sebagian besar populasi muslim Sunni dengan berbagai sekte, seperti Mahdist yang terkenal dengan sufisme, sedangkan wilayah selatan dihuni orang Kristen dan beberapa animisme. Pengaruh Inggris di Sudan mulai memudar, maka masuklah Uni Soviet dengan mendukung wilayah utara dalam perang saudara utara-selatan (Arab-Afrika). Pada tahun 1980, naiklah Presiden Ja’far Nimery, sikapnya lebih Islamis dan mulai memberlakukan hukum Islam di tahun 1983. Tahun silih berganti begitu pun pemerintah Sudan, dengan saling mengkudeta dan dikudeta. Tahun 1989, Omar Basyir beserta gurunya, Hassan al-Turobi berhasil mengkudeta tanpa darah pemerintahan sipil Shadiq al-Mahdi, cicit dari Muhammad Ahmad, sang proklamir Mahdist di abad ke-19.

Hasan al-Turobi menjadi ketua parlemen Sudan dan mendirikan NIF (National Islamic Fronts), sebuah partai Islam yang memiliki kedekatan khusus dengan rezim revolusioner Iran. Bahkan visi misinya adalah menjadikan Sudan seperti Iran, tapi dalam bentuk yang berbeda. Dia juga menegaskan bahwa dirinya bukan dari sekte manapun, baik Syiah ataupun Sunni, baginya itu hanyalah sejarah dan sudah tidak relevan lagi. Sangat berbeda dengan sikap politik Omar Basyir, contoh kasusnya ketika konflik Iraq-Iran, Basyir mendukung Saddam Husein sedangkan al-Turobi mendukung Iran, namun Amerika lebih condong ke Presiden Basyir. Di tahun 1993, Basyir membubarkan parlemen Sudan, dengan maksud ingin menghilangkan pengaruh Hassan al-Turobi di Sudan serta kawasan Timur Tengah. Hassan al-Turobi pun ditangkap dan diasingkan oleh pemerintahan Omar Basyir.

Iran dan Sudan telah lama menjalin hubungan persahabatan dalam waktu yang cukup lama. Sejak pemerintahan Syah Reza Pahlevi, kedua negara menjalin kerja sama di bidang ekonomi dan militer. Bahkan di tahun 1991, Presiden Iran Ali Akbar Hashemi Rafsanjani mengunjungi Sudan dan menagajak masyarakat Sudan dalam gerakan revolusi Islam bersama Iran untuk menjadi sumber gerakan dan revolusi di seluruh dunia Islam.

© epthinktank.eu

Ketika mendapatkan sanksi embargo di tahun 1993, Sudan mengalami masa-masa kritis, konflik perang saudara, inflasi mata uang, dan sumber daya alam yang terbatas membuat Sudan mencari bantuan internasional. Arab Saudi, negara terkaya di teluk saat itu ingin membantu, namun dengan beberapa persyaratan, salah satunya menyerahkan Osama bin Laden. Iran hadir dengan memberikan bantuan penuh, baik ekonomi maupun militer. Karena kedekatan inilah, Iran mendirikan Pusat Kebudayaan ICC (Iran Cultural Center) di Khartoum.

ICC memiliki beberapa program mingguannya. Di antaranya adalah pemutaran film, mengadakan lokakarya seni oleh penulis kaligrafi Iran, pidato atau seminar, dan pekan malam kebudayaan yang biasa dihadiri Duta Besar Iran untuk Sudan, Atase Kebudayaan Iran, dan sejumlah pejabat Iran serta pejabat Sudan yang mewakili berbagai ilmu pengetahuan, akademik, sosial dan seni.

Sejak tahun 1996, kebijakan Iran dalam kepentingannya terhadap Sudan cukup besar. Sudan digambarkan sebagai tanah subur untuk kegiatan politik, intelektual, militer, dan ekonominya, karena posisi geostrategisnya yang berdekatan dengan dunia Arab, terutama mesir, serta menjadikannya sebuah pintu masuk untuk menuju benua Afrika. Salah satu langkah Iran yaitu mengekspor ide-ide revolusi Iran melalui ICC yang dapat menyebarkan paham Syiah, serta mengamankan politik dan keamanannya di Laut Merah dan Tanduk Afrika.

Syiah dan ideologi Mahdi semakin popular. Orang-orang Syiah di Sudan lebih suka mempraktikkan keyakinan mereka di bawah payung tasawuf karena cenderung kurang menarik perhatian secara sosial dan politik di Sudan, terlebih sufisme mendukung garis keturunan Nabi Muhammad (Ahl Bayt). Tasawuf memiliki peran penting dalam membuka pintu lebar-lebar bagi pemahaman Syiah. Hubungan keduanya sangat erat. Terbukti dari beberapa Syeikh sufi di Sudan jarang mengambil posisi jelas serta sikap yang tidak tegas terkait penyebaran Syiah di masyarakat Sudan.

Pengaruh Syiah di Sudan semakin berkembang, namun masih jauh jika dibandingkan dengan negara lain. Dari data yang dimuat Pew Research Center tahun 2009, pertumbuhan Syiah di Sudan hanya berkisar di angka <1 (perkiraan presentase populasi muslim Syiah) . Pengikut Syiah di Sudan kebanyakan adalah mahasiswa Iran yang datang dalam rangka pertukaran pelajar serta mereka-mereka yang menghadiri seminar-seminar yang digelar setiap pekannya di ICC.

Di tahun 2014 hubungan kedua negara memburuk. Sudan menuduh Iran melalui ICC terkait penyebaran Syiah oleh pejabat Iran di pusat kebudayaan tersebut. Pemerintah Sudan menuduh bukan tanpa bukti, ditemukan bukti dan upaya untuk menyebarkan Syiah ke seluruh Afrika melalui Sudan. Terdapat Hawzas (seminar tempat ulama Syiah dilatih) dan Husseiniya (tempat ibadah dan pertemuan sosial Syiah), dan kegiatan panel diskusi dan ceramah Syiah yang dibungkus seminar kebudayaan Iran di ICC.

Sebelumnya, pemerintah Sudan juga sudah mendapat kecaman dan isolasi dari negara-negara teluk karena memiliki hubungan khusus dengan pemerintah Iran. Terlebih Arab Saudi, Raja Salman menjanjikan bantuan yang jumlahnya lebih besar (dibandingkan Iran) kepada pemerintah Omar Basyir. Oktober 2015, Omar Basyir mengunjungi Arab Saudi untuk menyepakati kerja sama politik dan ekonomi.

Pada Januari 2016, konflik Iran dan Arab Saudi memanas, sebuah serangan yang terjadi pada kantor kedutaan dan konsulat Arab Saudi di Teheran. Begitu juga dengan tuduhan Khartoum bahwa Teheran mempromosikan Syiah di Sudan telah menjadi sumber ketegangan yang konstan antara kedua negara.

Pada September 2014, pemerintah Sudan menutup ICC dan semua cabangnya serta memberikan tenggat waktu kepada seluruh jajaran staf ICC untuk meninggalkan Sudan secepat mungkin. Pemerintah Sudan juga membuat undang-undang pelarangan segala aktivitas yang berkaitan dengan penyebaran Syiah. Bahkan bukan hanya ICC yang ditutup, pemerintah Sudan pun memutus hubungan diplomatiknya dengan Iran. Pada akahirnya semua diaspora Iran dipulangkan tanpa terkecuali.