Islam radikal, boleh dibilang merupakan konsep baru, yang telah mendefiniskan banyak gagasan seputar terorisme di era globalisasi, di mana konsep itu ada. Dalam banyak hal, sebagian besar terorisme saat ini dikaitkan dengan beberapa negara Muslim, seperti Pakistan, Irak, atau bahkan Afghanistan, yang tampaknya mereka semua itu sedang berperang melawan Barat. Sementara itu, konsep terorisme telah ada selama berabad-abad sebelumnya, sedangkan gagasan apakah konsep itu dapat ditilik sebagai produk golbalisasi telah dipertanyakan secara tajam.
Sifat globalisasi multi-segi juga menciptakan ketidakpastian yang relatif apakah Islam radikal dapat dipandang sebagai tantangan terhadapnya. Penulisan ini akan sedikit menilai istilah globalisasi baik pada tingkat semantik maupun epistemologis untuk memahami dasar dari pertanyaan tersebut. Kemudian akan ditempatkan pada penentuan apakah Islam radikal benar-benar dapat dilihat sebagai salah satu produk dari konsep tersebut. Pada akhirnya, kita akan melihat bagaimana reaksi Islam terhadap globalisasi untuk menentukan apakah itu benar-benar merupakan tantangan bagi konsep tersebut.
Untuk memastikan signifikansi ancaman yang ditimbulkan oleh Islamisme, penting untuk melihat apa yang diklaim sebagai produk Islam radikal; globalisasi itu sendiri. Sementara globalisasi sering dipandang sebagai ide baru yang menandai periode peningkatan signifikan dalam ruang lingkup dan skala budaya dan peristiwa politik, ekonomi dan sosial. Konsepsi globalisasi, dalam banyak hal, telah ada selama berabad-abad.

Jika globalisasi diklasifikasikan sebagai “suatu proses peningkatan keterhubungan antar masyarakat”, maka globalisasi dapat dilihat, seperti yang telah dibahas sebelumnya, memiliki asal-usul yang didasarkan pada banyak periode sejarah, mulai dari Yunani Kuno; Alexander III dari Makedonia, yang menaklukkan Persia, Timur Tengah modern, dan sebagian Afrika, perjalanan Mayflower dari Inggris ke Amerika, hingga perdagangan budak transatlantik membentang dari Afrika ke Amerika serta Eropa. Contoh di atas menandai periode migrasi massal, penyebaran budaya, dan ketertarikan antar masyarakat yang sebagian orang menyebutnya globalisasi.
Ketika efek globalisasi dirujuk, biasanya ada konotasi positif yang terkait dengannya. Namun, globalisasi juga dapat dilihat sebagai produk yang sangat negatif. Banyak gerakan anti-globalisasi dapat dilihat sebagai penolakan produk globalisasi, dengan Islam radikal membentuk porsi yang signifikan dari kelompok ini. Misalnya, gagasan tentang kemungkinan bias yang terkait dengan globalisasi dapat dengan jelas dilihat sebagai contoh dari hal ini dan dapat juga dipandang sebagai cara fundamental, di mana Islam radikal sebenarnya merupakan tantangan bagi globalisasi dan juga produk dari globalisasi.
Misalnya, kelompok Al-Qaeda. Selama ini mereka dapat dipandang sebagai lambang keyakinan Islam radikal baik dalam tujuan maupun metodenya. Oleh karena itu, kelompok ini secara intrinsik memahami Islam radikal karena berkaitan dengan masyarakat internasional, dengan tujuan mereka membentuk indikasi terbaik tentang bagaimana Islam dapat dipandang sebagai produk dan tantangan terhadap konsep globalisasi. Meskipun tujuan definitif Al Qaeda tetap menjadi misteri, pemahaman umum menunjukkan bahwa Al Qaeda berusaha untuk menghapus pengaruh Barat dalam lingkup Islam dan merebut kembali Yerusalem sebagai negara Muslim. Jika ditelaah, tujuan-tujuan tersebut merupakan contoh paling menonjol mengapa Islam radikal muncul di era globalisasi modern.

Jika dipahami lebih jauh, agaknya konsep globalisasi ini tidak seimbang. Secara signifikan menguntungkan beberapa negara bagian, termasuk Barat, di atas negara lain. Islam radikal sebenarnya dapat dilihat berkembang sebagai akibat dari hal ini, untuk menantangnya, sehingga menjadikannya produk dan perlawanan terhadap ketidaksetaraan tersebut. Dengan ketidaksetaraan yang membentuk salah satu produk negatif dari globalisasi.
Penilain ketidaksetaraan ini tidak asal tuduh saja, fakta bahwa lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagian besar adalah negara-negara Barat dan di antaranya, Amerika dipandang sebagai yang paling kuat dan berpengaruh. Bersamaan dengan ini, pertumbuhan ekonomi anggota tetap DK ini selama periode yang sama dengan negara-negara bagian selatan dunia, selalu jelas perbedaannya yang lebih besar. Terlebih gambaran penderitaan manusia di mana kekerasan dibenarkan. Hal ini dapat berlaku untuk Islam radikal, di mana taktik kekerasan terorisme digunakan sebagai senjata untuk mengamankan kebebasan yang lebih besar bagi mereka.
Oleh karena itu, tak heran jika tindakan kelompok, seperti Al Qaeda, akan dilihat oleh banyak orang sebagai hal yang dibenarkan, serta dianggap membantu mereka dalam penemuan kembali hakikat kebenaran sebagai pembela umat Islam. Dampak negatif globalisasi memberikan ruang bagi bentuk budaya Islam yang lebih radikal, agar apa yang dapat dianggap sebagai upaya melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Lebih dari itu, juga dianggap menjadi produk langsung globalisasi sekaligus sebagai alat pertahanan terhadapnya.
Huntington (1996) pernah menyuarakan teorinya mengenai fenomena global dan bagaimana hal itu dapat dilihat sebagai penguatan klaim bahwa Islam radikal sebenarnya adalah produk dan mungkin tantangan bagi konsep globalisasi. Karenanya, dapat dikatakan bahwa Islam radikal telah dengan sepenuh hati menerima teori Huntington tentang globalisasi.
Huntington memberikan kerangka alternatif dan mungkin lebih dapat diterapkan untuk menganalisis globalisasi secara keseluruhan. Teori ini melihat kemunculan konflik dalam arena global, karena benturan budaya, identitas, dan agama yang terus-menerus. Ini tidak hanya berlaku untuk sifat budaya Barat dan Islam yang jelas bertentangan, tetapi juga untuk tujuan Al Qaeda.
Pada tingkat budaya murni, budaya Barat dan Islam tidak dapat lebih ditentang, dengan kebijakan Barat yang hampir seluruhnya bersifat sekuler, sementara Islamisme secara intrinsik terkait dengan pemerintahan, diilustrasikan oleh konsep Islamisme itu sendiri; berupa bentuk politisasi budaya Islam. Pada akhirnya, sangat mudah untuk melihat bagaimana Islam radikal mungkin telah dan terus berkembang sebagai akibat dari serangan gencar yang dilakukan terus-menerus dari apa yang dapat dilihat sebagai budaya Barat yang lebih tidak bermoral di negara-negara yang diatur oleh agama.
Keterlibatan Amerika, serta Inggris, dalam urusan dunia Islam dapat dilihat sebagai faktor paling signifikan dalam memproduksi Islam radikal. Globalisasi telah menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam keterlibatan negara-negara Barat dalam apa yang biasanya dipandang sebagai wilayah yang diperintah oleh lingkungan pengaruh Islam. Misalnya, setelah invasi Amerika ke Irak pada tahun 2003, tindakan Amerika dan Inggris dinilai cukup masuk akal meradikalisasi opini Arab oleh sebagian pengamat global, di mana para pemimpin moderat dan agama sebelumnya mengutuk tindakan kaum Islamis radikal.
Ini adalah contoh utama bagaimana Islam radikal setidaknya dipersatukan melalui tindakan yang terkait langsung dengan globalisasi dan oleh karena itu dapat diklasifikasikan sebagai produk globalisasi. Invasi itu sendiri menjerat Amerika baik secara politik maupun ekonomi di jantung Arab, serta memperkuat posisi mereka dalam masyarakat Islam. Ketika tujuan Al Qaeda diamati sekali lagi, dapat dimengerti bagaimana Islam radikal dapat dilihat sebagai berkembang dari efek langsung globalisasi.
Dengan menyebarnya pengaruh Barat karena sebagian besar globalisasi dan apa yang dapat dilihat sebagai keyakinan bahwa keterkaitan global yang lebih besar akan menyebabkan berkurangnya signifikansi batas-batas negara, budaya Islam dapat dilihat berada di bawah ancaman, dengan isu-isu kedaulatan nasional dan negara menjadi inti dari agenda Islam yang sekarang diradikalisasi.
Namun, agenda politik global yang dikendalikan Barat itu sendiri adalah faktor yang paling mencerahkan, ketika mencoba menilai apakah Islam radikal memang benar-benar menimbulkan tantangan yang signifikan terhadap globalisasi. Sederhananya, deklarasi Mantan Presiden Amerika Bush tentang perang melawan teror tidak hanya membentuk agenda internasional sejak serangan terhadap World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001, tetapi lebih signifikan mengubah wajah peperangan. Islam radikal tidak hanya menciptakan ketakutan yang meluas di seluruh wilayah Barat, tetapi juga telah membentuk apa yang bisa dibilang sebagai ancaman terbesar bagi komunitas Internasional secara keseluruhan.
Ketika Obama diangkat sebagai Presiden, salah satu tindakannya yang pertama adalah berpidato di Kairo, dengan tujuan untuk mengatasi ketegangan antar kedua negara. Namun pidato Obama tersebut mengambil kebijaksanaan yang berbeda dari pemerintahan Bush, dan itu untuk mengakui bahwa baik Amerika maupun dunia Islam tidak eksklusif.
Pada kesimpulannya, Islam radikal telah mengadopsi terorisme, yang selalu menjadi senjata bagi yang lemah, dan menciptakan apa yang dapat dilihat sebagai tantangan yang cukup besar bagi globalisasi dan komunitas internasional. Islam telah memainkan posisi yang sangat signifikan dalam ranah internasional, dan melalui tindakan kelompok-kelompok Islam radikal, seperti Al Qaeda, telah ditempatkan di puncak agenda politik global oleh negara-negara yang sering dianggap sebagai salah satu yang paling kuat dan berpengaruh.
Dengan demikian menjelaskan bahwa Islam radikal sebenarnya merupakan ancaman yang relatif signifikan terhadap globalisasi secara keseluruhan. Gagasan bahwa Islam radikal itu sendiri mungkin merupakan produk globalisasi juga merupakan klaim yang sangat kredibel, sebagian besar disebabkan oleh produk sampingan negatif yang diciptakan globalisasi, yang pada gilirannya menciptakan ruang di mana Islam radikal tidak hanya dapat tumbuh, tetapi juga berkembang. Pada akhirnya, Islamisme dapat dilihat sebagai lahir dari globalisasi, karena kebutuhan untuk menjaga budaya, serta penolakan terhadap gempuran budaya Barat yang dibawa kembali, oleh globalisasi.