El-EIBAR

© Shamsher Ali Khan Niazi from Pixabay

Konsep Ashabiyah Dalam Kontestasi Kekuasaan Di Timur Tengah

Latar Belakang

Perkembangan konsep atau teori yang dikembangkan oleh para ilmuan terdahulu dapat diimplementasikan dengan kondisi sosial dan politik saat ini. Salah satunya adalah konsep Ashabiyah yang dipelopori oleh Ibnu Khaldun. Konsep Ashabiyah ini dapat menganalisis persoalan politik dan negara. Dimana konsep tersebut merupakan kunci dari terbentuknya sebuah kekuasaan dan negara.

Ashabiyah secara harfiah diartikan sebagai kelompok atau solidaritas sosial.  Secara etimologis Ashabiyah berasal dari kata Ashab yang berarti hubungan dan ishab yang berarti ikatan. Ashabiyah juga dapat dipahami sebagai solidaritas sosial dengan menekankan pada kesadaran, kepaduan, dan persatuan kelompok.  Dalam Muqaddimah, istilah Ashabiyah memiliki dua pengertian yang bermakna positif dan negatif. Ashabiyah bermakna positif merujuk pada konsep solidaritas atau persaudaraan. Ashabiyah ini merupakan bentuk kerjasama, mengesampingkan kepentingan pribadi dan memenuhi kewajiban kepada sesama. Ashabiyah ini menciptakan keselarasan sosial dan menjadi kekuatan yang membangkitkan peradaban.  Pengertian kedua bermakna negatif yaitu fanatisme yang tidak didasarkan pada aspek kebenaran  dan mementingkan kepentingan suatu individu atau kelompok saja. Bangsa Arab dikenal memiliki kabilah-kabilah yang hidup berdampingan. Fanatisme kabilah ini sering terjadi dan menimbulkan perselisihan dengan kabilah lain yang berujung peperangan bahkan dalam hal sepele sekalipun. Biasanya kabilah ini tercipta karena adanya realitas kesukuan.

Pada masa dinasti Abbasiyah di zaman khalifah al-Mu’tasim dan anaknya al-Watsiq, kekuatan bangsa Arab melemah, sehingga raja bergantung kepada sebagian besar dari bangsa Persia, Turki, Dailami, Saljuk, dll. Kepercayaan dari raja dimanfaatkan oleh bangsa asing untuk menguasasi daerah-daerah kekuasaan dinasti Abbasiyah.  Hal ini membuktikan bahwa ashabiyah sangat menentukan kemenangan dan keberlangsungan hidup suatu negara, dinasti, ataupun kerajaan.

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa kekuatan Ashabiyah yang dimiliki oleh suatu kelompok dapat membantu mereka untuk meraih kepemimpinan atau kekuasaan.  Ketika ada kelompok lain yang memiliki Ashabiyah yang lebih kuat, maka terdapat kemungkinan adanya pergantian kekuasaan. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun membahas pentingnya menggabungkan ashabiyah dengan supremasi untuk mempertahankan kekuasaan. Supremasi yang berdasarkan ashabiyah memiliki dua derajat kekuatan, yaitu ‘ashabiyah berdasarkan supremasi dan ashabiyah berdasarkan garis keturunan.

Konsep ashabiyah masih digunakan oleh pemerintahan suatu negara sampai hari ini, salah satunya adalah Arab Saudi. Arab Saudi merupakan negara yang dipimpin oleh keluarga Saud yang ditelusuri berasal dari sebuah wilayah bernama Diriyah. Muhammad bin Saud dalam sejarahnya membuat aliansi dengan Muhammad bin Abdul al-Wahab. Aliansinya tersebut didasarkan oleh garis keturunan yang terhormat Al Saud digabungkan dengan supremasi kelompok al-Wahhab. Dari penggabungan inilah ashabiyah yang bertahan sampai hari ini di Arab Saudi. Kasus ini merupakan salah satu contoh kasus ashabiyah berdasarkan garis keturunan. Begitu juga pada nasionalisme etnis yang mengikat sebuah identitas etnis, bahasa, dan budaya yang kemudian berhasil membentuk negara Turki.

Dalam makalah ini kami membahas kitab Muqaddimah yang difokuskan pada Pasal 11 sampai Pasal 13 untuk membahas bagaimana konsep ashabiyah dapat menjadi sebuah kekuasaan dengan melihat proses pergantian kekuasaan di Arab Saudi dan Turki. Kedua negara tersebut memiliki ashabiyah yang kuat sehingga dapat menjadi studi kasus dalam makalah ini.

Ibnu Khaldun/funci.org

Pembahasan

Untuk menjawab pertanyaan penelitian pada makalah ini, penulis akan menggunakan konsep Ashabiyah sebagai landasan pembahasan. Ibnu Khaldun, di dalam Mukaddimah, mendefinisikan Ashabiyah sebagai fanatisme suatu kelompok yang dibentuk atas dasar kesamaan visi atau tujuan. Lebih jauh lagi, menurut beliau semakin kuat ashabiyah yang dimiliki oleh suatu kelompok dapat membantu mereka untuk meraih kepemimpinan atau kekuasaan.  Bahkan, beliau berpendapat bahwa semakin dekat suatu komunitas dengan kelompok yang sedang memimpin, maka semakin besar pula kemungkinan untuk memimpin atau mendapatkan kekuasaan.

Definisi Ashabiyah dan Jenis-Jenisnya

Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa ketika suatu kelompok memimpin, maka perlu untuk tetap menjaga Ashabiyahnya apabila kelompok tersebut tidak ingin kehilangan kekuasaannya.  Terlebih lagi, apabila terdapat kelompok lain yang memiliki Ashabiyah lebih kuat dibandingkan dengan kelompok yang sedang memimpin, maka terdapat kemungkinan akan terjadinya penghilangan kepemimpinan atau kekuasaan. Oleh karena itu, perlu bagi suatu kelompok untuk memiliki Ashabiyah yang kuat apabila sedang memimpin.

Ibnu Khaldun menjelaskan alasan mengapa kekuatan Ashabiyah menjadi hal penting dalam mempertahankan kepemimpinan atau kekuasaan. Menurut beliau, suatu kelompok dapat menjadi pemimpin karena memiliki supremasi atau kekuasaan.  Beliau mendefinisikan supremasi sebagai derajat kepatuhan kelompok yang dipimpin dengan kelompok yang memimpin. Semakin tinggi supremasi yang dimiliki, maka semakin lama pula kelompok tersebut memimpin.

Lebih jauh lagi, beliau menjelaskan bahwa supremasi yang berdasarkan Ashabiyah memiliki dua derajat kekuatan, yaitu Ashabiyah berdasarkan supremasi dan Ashabiyah berdasarkan garis keturunan. Beliau berpendapat bahwa Ashabiyah berdasarkan garis keturunan memiliki kekuatan yang lebih kecil dibandingkan Ashabiyah berdasarkan supremasi.  Terdapat kemungkinan pada suatu kelompok, calon pemimpin tidak terlalu mempertimbangkan garis keturunannya dan berfokus kepada fanatisme kelompok.

Namun, beliau juga menjelaskan terdapat kemungkinan di dalam suatu kelompok, untuk bisa menjadi pemimpin harus memiliki Ashabiyah garis keturunan.  Hal ini penting untuk dimiliki agar menjaga visi dan tujuan yang dimiliki oleh suatu kelompok. Terkadang, terdapat beberapa orang yang menginginkan posisi kepemimpinan dan berpura-pura agar bisa mendapatkan gelar kepemimpinan. Di saat orang tersebut memimpin, terdapat kemungkinan visi dan tujuan dari kelompok tersebut dilupakan dan berfokus pada tujuan pribadi.

Faktor-Faktor yang Memperkuat Ashabiyah

Ibnu Khaldun, pada Pasal ke-13 di Mukaddimah, menjelaskan bahwa kekuatan Ashabiyah dipengaruhi oleh dua hal,yaitu asal garis keturunan dari Ashabiyah suatu kelompok dan seberapa dekat kelompok tersebut dengan garis keturunan yang terhormat.  Untuk faktor pertama, yaitu asal garis keturunan, beliau berpendapat bahwa apabial terdapat kelompok yang memilik Ashabiyah dan garis keturunannya adalah garis keturunan yang terhormat, maka semakin besar kemungkinan bagi kelompok tersebut untuk meraih kepemimpinan atau kekuasaan. Terlebih lagi, apabila faktor tersebut digabungkan dengan supremasi yang dimiliki oleh kelompok tersebut.

Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa perlu ada suatu upaya untuk tetap menjaga kehormatan yang dimiliki oleh garis keturunan tersebut dengan cara menjaga komunikasi antara anggota keluarga tersebut. Beliau menganalogikan perbedaan cara berkomunikasi masyarakat yang semakin berubah terutama masyarakat perkotaan.  Lingkungan perkotaan merupakan lingkungan yang memiliki kecepatan perkembangan yang luar biasa. Semakin cepat perkembangan yang ada, membuat seseorang dituntut untuk berinteraksi dengan masyarakat di luar Ashabiyahnya. Ibnu Khaldun berpendapat apabila hal ini terus menerus dilakukan, maka Ashabiyah berdasarkan garis keturunan akan semakin turun dan yang tersisa hanyalah hal yang normal atau wajar terhadap garis keturunan tersebut.

Dari penjelasan Ibnu Khaldun mengenai bagaimana Ashabiyah menjadi peranan penting bagi sekelompok untuk mendapatkan kepemimpinan atau kekuasaan. Setidaknya terdapat dua hal yang perlu diperhatikan untuk menganalisis pertanyaan penelitian yang diajukan, yaitu jenis Ashabiyah yang dimiliki dan penjagaan Ashabiyah yang sudah terbentuk. Untuk variabel pertama, yaitu jenis Ashabiyah yang dimiliki, perlu dilihat lebih jauh bagaimana Ashabiyah tersebut terbentuk dan bagaimana Ashabiyah tersebut berkembang. Lebih jauh lagi, apabila status kelompok tersebut telah berhasil meraih kepemimpinan atau kekuasaan perlu dilihat lebih jauh lagi, bagaimana kelompok tersebut menjaga Ashabiyahnya. Penjelasan kedua hal tersebut yang kemudian akan banyak dibahas di pembahasan selanjutnya.

Studi Kasus Pertama: Konsep Ashabiyah pada Garis Keturunan Kerajaan Arab Saudi

Sejarah Arab Saudi dan dinasti yang berkuasa adalah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan. Faktanya, nama negara, Saudi Arabia, berarti “Saud’s Arabia.” Sejarah keluarga Saud dapat ditelusuri dari sebuah wilayah bernama Diriyah (sekarang bagian dari ibu kota Riyadh), oleh seorang kepala suku Mrudah bernama Mani al-Muraidi pada abad ke-15. Keturunan Muraidi tetap menjadi penguasa kota kecil dan sekitarnya selama berabad-abad. Kemudian, pada pertengahan abad ke-18, cicit buyutnya, Muhammad bin Saud membuat aliansi dengan seorang revivalis Muslim Sunni bernama Muhammad bin Abdul al-Wahhab. Mereka membuat kesepakatan, al-Saud akan mendukung konsep Islam al-Wahhab yang fundamental dan sebagai gantinya, al-Saud akan mendapatkan legitimasi politik serta sepersepuluh dari pengikut al-Wahhab. Aliansi politik-agama yang dibentuk oleh al-Wahhab dan al-Saud bertahan hingga hari ini di Arab Saudi. Kedua keluarga juga secara resmi mengikat takdir mereka bersama melalui pernikahan pada tahun 1744 putra Bin Saud, Abdul Aziz, dengan putri al-Wahhab.

Kekuasaan Muhammad bin Saud di wilayah kecil, Emirate of Diriyah atau negara Saudi pertama, itu tidak pernah berada di bawah kendali Kesultanan Ottoman. Bersama anaknya (Abdul Aziz) serta keturuan al-Wahhab berhasil menaklukan sebagian besar wilayah semenanjung Arab. Negara Saudi pertama mencapai puncaknya di bawah cucu pendirinya, Abdul Aziz bin Muhammad. Bahkan beliau berhasil menaklukkan kota suci Mekah dan Madinah pada tahun awal pemerintahannya. Di lain sisi, Sultan Ottoman berusaha membujuk raja Mesir untuk membantunya menghancurkan Saudi dan Wahhabi. Abdul Aziz dibunuh pada tahun 1803, penggantinya Abdullah bin Saud mengantikannya. Namun ia tak kuasa menahan serangan aliansi Ottoman-Mesir, maka di tahun 1818 negara Saudi pertama berhasil dikalahkan. Ibu kota Diriyah diluluh-lantakkan. Abdullah bin Saud dibawa ke Istanbul dan kemudian dipenggal. Maka berakhirlah negara Saudi pertama.

Selang beberapa tahun pasca runtuhnya Emirate of Diriyah, Turki, cucu Muhammad bin Saud, mendirikan negara Saudi kedua atau Emirate of Nejd dan menjadikan Riyadh sebagai ibu kotanya. Akan tetapi, negara Saudi kedua ini kurang dikenal, walaupun awal pembentukannya, Turki berhasil melancarkan pemberontakan. Periode kedua negara Saudi tidak banyak melakukan ekspansi teritorial, seperti merebut kembali wilayah Hijaz atau ‘Asir. Periode kedua ini ditandai dengan konflik internal yang sangat parah di dalam keluarga Saud. Puncaknya ketika putra Turki, Fayal, meninggal dunia. Maka muncul perselisihan yang menyebabkan perang saudara dan pemberontakan suku-suku aliansi, serta serangan yang dilakukan suku al-Rasyid dari Kerajaan Ha’il (Emirate of Ha’il). Namun pada tahun 1887, cucu Turki, Abdul Rahman bin Faisal berhasil merebut kembali kendali kerajaan dan ibu kota Riyadh. Tak lama kemudian ia dikalahkan oleh al-Rasyid pada pertempuran Mulayda di tahun 1891.

Pasca kekalahannya, Abdul Rahman bin Faisal mengasingkan diri. Ia hidup bersama dengan sekelompok dari suku Badui hingga akhirnya menetap di wilayah suku al-Sabah, Kuwait. Kemudian pada tahun 1902, Abdulaziz bin Abdul Rahman bersama pejuang suku Badui nomaden yang menganut Wahhabi, Ikhwan, memimpin serangan ke wilayah suku al-Rasyid dan sekutunya. Mereka berhasil mendapatkan kembali kendali atas kota Riyadh. Mendengar kabar tersebut, mantan sekutu Saud berkumpul dan kembali mendukung mereka. Al-Rasyid pun tak ingin menyerah dan mengalah, mereka meminta bala bantuan dari Kesultanan Ottoman. Perang saudara pun terjadi kembali.

Pada waktu yang sama, bergeser ke wilayah utara sedang terjadi Perang Dunia Pertama. Perang antara Inggris dan sekutunya melawan Kesultanan Ottoman yang menguasai wilayah Timur Tengah. Dalam upaya untuk melemahkan lawannya, Inggris memberikan dukungannya kepada Abdul Aziz berupa uang dan amunisi untuk menekan serangannya terhadap al-Rasyid dan sekutu mereka, Ottoman. Kemudian saat perang tersebut berakhir, wilayah semenanjung Arab secara efektif dibagi oleh Inggris menjadi wilayah kekuasaan dari dua kerajaan sekutu mereka, Keluarga Saud yang dipimpin oleh Abdulaziz menguasai wilayah Nejad (Arab timur), dan Kerajaan Hashemit yang diperintah oleh Hussein di Hijaz (Arab barat).

Ternyata kedua kerajaan tersebut memilih untuk saling berjuang menguasai seluruh wilayah semenanjung Arab. Inggris melihat realita yang terjadi lebih memilih untuk tidak membela salah satunya, karena keduanya merupakan sekutu. Perang pun mereda tanpa akhir yang pasti. Pada tahun 1924, orang-orang dari Keluarga Saud menyerang kembali orang-orang Hasyem. Mereka berhasil mengalahkannya dan menandai kemenangan pada tahun 1925 dengan mencaplok wilayah Hijaz, termasuk dua kota suci Mekah dan Madinah, ke dalam kerajaan mereka.

© Antara

Pada tahun 1932, Abdulaziz mendeklarasikan dirinya sebagai Raja dari Kerajaan Arab Saudi, sebuah monarki absolut. Dia menikahi banyak klan dan suku bangsawan, termasuk anak perempuan dari kepala suku Bani Khalid, Ajman, Shammar, serta asy-Syeikh (keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab). Dia juga mengatur agar keturunannya, putra dan kerabatnya untuk melakukan pernikahan serupa. Penunjukkan ahli waris pada putra tertua yang masih hidup. Keluarga Saud kemudian dikenal dengan “Keluarga Kerajaan”, setiap anggotanya diberikan gelar amir untuk pangeran, dan amira untuk putri. Kemudian sejumlah putranya memerintah kerajaan, mulai dari Saud II (1953–1964), Faisal (1964–1975), Khalid (1975–1982), Fahd (1982–2005), Abdullah (2005–2015), dan Salman, putra Abdul Aziz ke-25 (2015–hingga saat ini).

Studi Kasus Kedua: Konsep Ashabiyah pada Nasionalisme Turki

Revolusi Kemalisme sebagai kerangka pembentuk identitas Turki. Modernisasi dan pembangunan nasional Turki terinspirasi oleh masa Pencerahan yang terjadi di Eropa. Mustafa Kemal pesimis dan memandang rendah kondisi masyarakat Ottoman pasca Perang Dunia I, menurutnya masyarakat Ottoman pada saat itu tertinggal secara politik, sosial, dan budaya sehingga perlu menjalani perubahan radikal agar dapat mempertegas dirinya di antara kekuatan Eropa lainnya dalam tatanan politik pasca perang. Revolusi Turki dicapai dalam dua tahap.

Tahap pertama berlangsung dari awal Perang Kemerdekaan Turki tahun 1918 sampai penghapusan kekhalifahan pada Maret 1924, revolusi tersebut didominasi oleh transisi politik dan formal. Peran Mustafa Kemal dalam gerakan revolusi adalah memusatkan upaya-upaya perlawanan Komite Perlindungan Hak Asasi melalui Komite Pertahanan hak-hak Anatolia dan Rumeli. Kemudian kelompok Kemalis berusaha memperoleh legitimasi internal dengan cara melawan otoritas Sultan yang tunduk pada sekutu.

Untuk meraih legitimasi tersebut dibentuk Majelis Nasional (Grand National Assembly) di Ankara pada 23 April 1920 yang beranggotakan perwakilan terpilih dari seluruh wilayah Turki. Pada bulan Januari 1921, Majelis Nasional akhirnya mendeklarasikan kedaulatan eksklusif milik Turki yang dipercayakan kepada dewan yang dipimpin Mustafa Kemal. Deklarasi The Fundamental Law merupakan tahap penting transisi dari kerajaan multi-etnis ke negara bangsa yang mono-etnis, dan untuk pertama kalinya konsep negara Turki secara resmi memasuki wacana legitimasi kekuasaan politik.

Pembentukan republik Turki secara sah dimulai dengan adanya deklarasi Ankara sebagai ibukota baru Turki, kemudian dilanjutkan dengan proklamasi republik dan pemilihan Mustafa Kemal sebagai presiden pertama, serta pengadopsian konstitusi republik. Bagian terpenting dari revolusi adalah menghancurkan warisan terakhir kekuasaan Kesultanan Ottoman yakni dengan menghapus sistem khilafah. Penghapusan sistem khilafah merupakan puncak dari proses sekularisasi politik yang nyata.

Tindakan tersebut merupakan simbol bahwa Turki telah meninggalkan komunitas negara Islam. Penghapusan sistem khalifah melambangkan peralihan menuju Eropa dan menjauh dari Asia, dengan demikian upaya revolusi Turki ini dianggap sebagai proses Westernisasi dan juga membangkitkan semangat etno nasionalisme. Tahap kedua terjadi pada tahun 1924 hingga 1927, berakhir dengan pidato Atatürk yakni Nutuk yang berisi penetapan garis besar dari sejarah resmi dan revolusi ideologi Turki yang baru yakni Kemalisme.

Tahap kedua revolusi dimulai secara de facto begitu republik secara resmi didirikan. Selama tahap kedua revolusi, Kemalisme disebarluaskan sebagai ideologi nasional resmi dan fokus reformasi bergeser ke perubahan hukum, sosial dan budaya yang lebih luas jangkauannya. Secara keseluruhan reformasi ini memiliki dua tujuan dan konsekuensi. Pertama, bertujuan untuk mengurangi kemungkinan pengaruh Islam pada masyarakat, dan kedua, reformasi merupakan sebuah upaya untuk mendekatkan diri dengan Eropa.

www.ricksteves.com

Dalam bidang hukum revolusi dapat dicontohkan dengan pengadopsian hukum pidana baru pada Maret 1926 berdasarkan pada hukum pidana Italia, dan pada bulan Oktober kode hukum perdata yang mencontoh Swiss diperkenalkan, fungsi dan nilai-nilai Islam sebagai tata sistem hukum dihilangkan. Sedangkan di bidang sosial dapat dilihat dalam sistem pendidikan nasional Kemalis yang berupaya mengurangi pengaruh Islam pada sekolah-sekolah melalui kurikulum yang diawasi negara dan pengenalan huruf Latin sebagai pengganti huruf-huruf Arab. Dengan terjadinya seperti itu maka asas negara Turki dan karakteristik negara Republik Turki menjadi lebih cenderung mengidentifikasikan identitas negaranya berdasarkan etnis tertentu, dalam hal ini etnis Turk.

Kesimpulan

Konsep pemikiran Ibnu Khaldun tentang Ashabiyah mempunyai pengaruh yang besar untuk tercapainya kekuasaan dan keberlangsungan politik. Pentingnya bagi suatu ashabiyah dalam mempertahankan kekuasaannya dapat dilakukan dengan mengetahui jenis ashabiyah yang dimiliki dan bagaimana ashabiyah itu terbentuk.

Kerajaan Arab Saudi memiliki ashabiyah yang kuat berdasarkan garis keturunan hingga saat ini. Ashabiyah ini tidak hanya mengandalkan garis keturunan, tetapi juga melakukan ekspansi dan beraliansi dengan keturunan al-Wahhab sehingga mampu mengalahkan ashabiyah lain. Sampai saat ini, raja Arab Saudi menikahi banyak klan dan suku bangsawan serta mengatur keturunannya agar melakukan pernikahan serupa. Ia juga menunjuk ahli waris pada putra tertua yang masih hidup untuk terus menggantikan posisi sebagai raja, sebagai Pelayan Dua Kota Suci .

Usaha Mustafa Kemal Attaturk untuk melakukan modernisasi dan pembangunan nasional Turki juga dengan membuat transisi kerajaan multi-etnis ke negara bangsa yang mono-etnis dan Kemalisme. Dalam konsep Ashabiyah, hal ini dilakukan untuk melemahkan ashabiyah lain dan membentuk ashabiyah baru yang lebih besar.

Penulsi: Kemal Abdur Rasyid, Mohammad Rizky Adi, Hasan Izzurrahman, dan Shafira Ramadhanty