El-EIBAR

© Salah Malkawi

Normalisasi Arab dan Israel

Konflik Arab-Israel telah lama terjadi. Konflik yang berkepanjangan antara Israel dan negara-negara Arab tidak terlepas dari ketegangan politik, militer, dan perselisihan yang meningkat sejak abad ke-19. Konflik bermula dari saling klaim atas hak tanah, kemudian berkembang menjadi konflik sektarian ketika wilayah itu dimandatkan kepada Inggris pada 15 Mei 1948. Peristiwa itu dikenal dengan Perang Kemerdekaan oleh bangsa Israel. Perang ini juga menandai konflik bersenjata pertama antara Israel dengan negara-negara Arab lainnya. Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak, dan negara Arab lainnya.

Selepas perang Arab-Israel tahun 1948, 1967, dan 1973 hubungan keduanya tak pernah membaik. Langkah normalisasi dipandang perlu untuk dilakukan. Pada 17 September 1978, Mesir melakukan perjanjian damai dengan Israel di tempat peristirahatan Presiden Amerika Serikat, Camp David. Sebelumnya, Turki menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Israel di tahun 1949. Langkah Turki dan Mesir kemudian menginspirasi Yordania untuk melakukan perjanjian damai dengan Israel pada 26 Oktober 1994 di Arabah.

Normalisasi UEA dan Bahrain dengan Israel © Saul Loeb/AFP via Getty Images

Uni Emirat Arab

Pada 13 Agustus 2020, Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel mengumumkan normalisasi hubungan di antara keduanya. Pemerintah Israel dan UEA berbagi dalam berbagai masalah keamanan regional. Mereka berdua melihat Iran dan Turki sebagai ancaman yang serius. Israel-UEA sama-sama memusuhi politik Islam dan skeptis bahwa demokratisasi yang lebih besar di dunia Arab akan membawa hasil yang lebih baik.

Dampak perjanjian normalisasi bagi keduanya adalah; pertama, normalisasi tersebut menghentikan atau setidaknya menahan aksi pencaplokan langsung Israel atas wilayah Tepi Barat. Kedua, mengangkat posisi Netanyahu di perpolitikan Israel. Dengan kesepakatan ini, ia dianggap sebagai seorang pahlawan Israel yang telah mengambil langkah besar untuk mengakhiri isolasi bersejarah Israel. Ketiga, UEA akan mendapatkan izin untuk memperoleh jet tempur canggih F-35, pesawat tempur yang menggabungkan teknologi siluman dengan kelincahan dan kecepatan tempur. Yang artinya, UEA mendapatkan bantuan militer dengan teknologi terbaru dan tercanggih, serta berpotensi menggeser keseimbangan kekuatan di kawasan.

Bahrain

Pada 15 September 2020, Bahrain dengan mengikuti langkah UEA untuk menandatangani Deklarasi Perdamaian. Mengapa Bahrain mengambil langkah yang begitu cepat setelah UEA menyatakan normalisasi dengan Israel?

Alasan yang cukup jelas adalah karena kalangan elit penguasa Bahrain diisi oleh kelompok Sunni, mereka menguasai kursi pemerintahan, sedangkan mayoritas penduduknya adalah Syiah yang secara tidak langsung terpinggirkan dari politik elit. Unsur-unsur ekstrim dalam populasi Syiah di Bahrain telah terbukti lebih mudah menerima tawaran Iran daripada komunitas Syiah di Kuwait atau Arab Saudi. Ditandai dengan ada banyaknya bukti bahwa Iran telah berusaha memperburuk kerusuhan di Bahrain dan mendorong kekerasan anti-pemerintah dan bahkan terorisme.

Jadi, ketika semua negara Teluk menganggap Iran sebagai ancaman, untuk Bahrain merupakan sebuah kecemasan eksistensial akut yang ditimbulkan oleh Teheran. Bagi Bahrain, Israel adalah musuh regional Iran yang paling kuat. Oleh karena itu, Bahrain menganggap prospek hubungannya dengan Israel akan lebih mengamankan posisinya dari Iran. Manfaat lainnya adalah memperkuat hubungan dengan Washington, walaupun sebenarnya Bahrain merupakan rumah bagi Angkatan Laut AS di kawasan Timur Tengah. Tapi pada intinya, hubungan Bahrain yang semakin dekat dengan Israel dan AS adalah memberikan ancaman nyata bagi Iran.

Sudan

Sementara itu, pada Februari 2020, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengadakan pertemuan rahasia selama 2 jam dengan Ketua Dewan Kedaulatan Sudan, Abdel Fattah Burhan di Uganda. Dalam pertemuan itu, Netanyahu mengajukan proposal normalisasi Sudan-Israel. Tak lama kemudian, pesawat terbang Israel resmi melintasi wilayah udara Sudan dengan izin pemerintahan transisi. Kemudian pada 23 Oktober 2020, Sudan dan Israel resmi menandatangani perjanjian untuk melakukan normalisasi. Setelah normalisasi ini, salah satu strategi Netanyahu untuk melebarkan sayap dukungan di Afrika Timur sedikit terbuka. Bagi Pemerintah Transisi Sudan bahwa keputusan menormalisasi dengan Israel akan menguntungkan bagi rakyat Sudan secara ekonomi. Bagaimana tidak? AS memberikan penawaran untuk menghapus Sudan dari daftar penyokong terorisme jika Sudan ikut menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Israel juga menawarkan bantuan dan kerja sama dalam sektor ekonomi dan teknologi.

Langkah normalisasi Sudan-Israel setidaknya lebih rumit dibandingkan dengan UEA dan Bahrain. Dalam sejarahnya, Sudan tergabung dalam Perang Arab-Israel 1948, Perang Enam Hari 1967, dan dengan hasil Konferensi Khartoum yang menghasilkan “The Three No's”. Penduduk Sudan juga lebih anti-Israel dan anti-semit dibandingkan dengan negara Timur Tengah lainnya. oleh karena itu, perjanjian damai ini sangat berarti bagi Israel.

Hamdouk dan Netanyahu © Abir Sultan/Pool via Reuters

Maroko

Pada 10 Desember 2020, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Maroko dan Israel telah setuju untuk membangun kembali hubungan diplomatik. Kemudian dilanjutkan penandatanganan kesepakatan memorandum antara keduanya di Rabat pada 22 Desember 2020. Sebagai imbalannya, Amerika Serikat secara resmi mengakui kedaulatan Maroko atas wilayah Sahara Barat. Banyak dari warganya tidak terkejut akan rencana ini, melainkan pengakuan AS terhadap Sahara Barat-lah yang membuat mereka tercengang. Faktanya, Rabat, badan intelijen Maroko, telah memiliki hubungan tidak resmi dengan Israel melalui badan intelijennya, Mossad, selama hampir enam puluh tahun. Sudah banyak sejarah dan peristiwa yang melibatkan dua badan intelijen tersebut.

Raja Muhammad VI, yang juga menjabat sebagai ketua Komite Al-Quds dari Organisasi Kerja sama Islam (OKI) mengatakan kepada rakyatnya, selang setelah pengumuman normalisasi, bahwa sejatinya konflik Israel-Palestina sama pentingnya dengan Sahara Barat. Namun menariknya, Menteri Ketenagakerjaan dan Integrasi Profesional dan juga anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Pemuda (sebuah partai terkemuka di Maroko), Muhammad Amkraz menyatakan penentangannya terhadap normalisasi dengan Israel. Pernyataannya memicu petisi yang menyerukan pemecatannya, yang mengungkapkan perpecahan politik yang semakin dalam di Maroko. Akibatnya, orang Maroko yang menentang normalisasi sekarang dianggap tidak patriotik karena tidak mendukung normalisasi Israel sama halnya dengan tidak mendukung pemerintah Maroko mempertahankan Sahara Barat sebagai bagian dari wilayahnya.

Arab Saudi

Beberapa pejabat Arab Saudi menegaskan bahwa kerajaan tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel di luar kerangka Inisiatif Perdamaian 2002 (Arab Peace Initiative), yang menyerukan pembentukan negara Palestina. Pangeran Faisal bin Farhan Al-Saud, Menteri Luar Negeri Arab Saudi juga menegaskan bahwa posisi pemerintahannya dalam mendukung negara Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya tidak berubah.

Hanya saja, Arab Saudi memutuskan untuk mengizinkan penerbangan pertama Israel dan Uni Emirat Arab melintasi wilayah udaranya. Langkah ini bahkan dipuji oleh Netanyahu sebagai terobosan yang luar biasa.

Sementara itu yang terjadi di Arab Saudi adalah adanya ketidaksepakatan antara Bin Salman dengan ayahnya, Raja Salman terkait normalisasi ini. Raja Salman menentang perjanjian damai dengan Israel, sedangkan anaknya menunjukkan keterbukaan yang lebih besar, namun belum memberikan persetujuan. Menurut Saudi Press Agency, Raja Salman menegaskan kepada Trump bahwa kerajaan menginginkan pencapaian solusi yang nyata dan adil bagi perjuangan Palestina untuk membawa perdamaian.

Arab Saudi memilih tidak tergesa-gesa untuk mengambil langkahnya, karena taruhannya lebih besar jika dibandingkan dengan UEA dan Bahrain. Arab Saudi menyadari status mereka sebagai senior di GCC bahkan di dunia Islam. Arab Saudi berpotensi kehilangan prestise internasional. Tanggung jawab moral keluarga kerajaan untuk dunia Islam yang lebih luas dan sebagai penjaga dua kota Islam paling agung di dunia.

Qatar

Melalui pernyataan Menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani dengan tegas menuduh negara-negara Arab yang melakukan normalisasi dengan Israel telah merusak upaya status negara Palestina. Sejatinya, Qatar tidak memiliki masalah dalam normalisasi dengan Israel, tetapi tidak akan melakukannya sebelum solusi konflik Israel-Palestina tercapai. Qatar mendukung solusi dua negara dengan Yerusalem Timur yang diduduki sebagai ibu kota negara Palestina. Meskipun begitu, Qatar tetap akan terus mengirim bantuan ke Jalur Gaza dan menengahi antara Israel-Palestina. Akan tetapi ada fakta dan realita, bahwa Qatar telah lama menjalin hubungannya dengan Israel. Pada tahun 1996, Perdana Menteri Israel saat itu, Shimon Peres diterima oleh Emir Qatar saat itu, Syeikh Hamad bin Khalifa al-Thani, di Doha. Di tahun yang sama pula, Israel mendirikan kantor perwakilannya, walaupun pada tahun 2000 kantor tersebut ditutup.

Reaksi masyarakat Palestina terhadap langkah normalisasi © Mustafa Hassona/Anadolu Agency

Kuwait

Begitu juga dengan kebijakan diplomasi Kuwait. Pemerintah Kuwait menolak dan menentang normalisasi bahkan diskret dengan Israel. Bahkan Giorgio Cafiero (2019) menulis bahwa Kuwait telah menjadi satu-satunya negara GCC yang menolak untuk melihat hubungan yang lebih hangat dengan Israel. Mengapa Kuwait mengambil langkah yang cenderung berbeda dengan tetangganya di Teluk?

Sisi paling unik Kuwait adalah institusi semi-demokratisnya. Majelis Nasional Kuwait memiliki kekuatan yang signifikan dan menyalurkan sentimen publik untuk melawan normalisasi. Misalnya saja anggota parlemen Osama al-Shaheen menyatakan pada akhir April 2020 bahwa Kuwait menentang normalisasi budaya, politik, atau sosial apapun dengan entitas Zionis. Selain institusi formal ini, di Kuwait terdapat diwaniyah,[1] dan diwaniyah ini lebih otonom dari pemerintah, bahkan lebih terbuka dibandingkan dengan majelis-majelis yang ada di negara Teluk lainnya. Sehingga budaya politik seperti ini menghasilkan masyarakat sipil Kuwait yang kritis dan kuat, seperti halnya dapat menekan pemerintah untuk tidak melakukan normalisasi.

Faktor lainnya adalah Kuwait memiliki hubungan dengan salah satu komunitas Palestina terbesar di Teluk. Dimulai dengan imigrasi pada 1940-an, ratusan ribu warga Palestina menetap di Kuwait. Walaupun pernah ada keretakan ketika Yasser Arafat mendukung invasi Irak ke Kuwait. Namun akhirnya, hubungan kembali membaik pada 2013 ketika Otoritas Palestina membuka kedutaan besar di Kuwait City. Mungkin aspek terkuat dari posisi Kuwait adalah para pemimpinnya, terutama Emir Sheikh Sabah al-Ahmad al-Sabah, tetap berdedikasi pada nasionalisme Arab dan solidaritas Muslim serta komitmen terhadap cita-cita pan-Islam. Kuwait menegaskan bahwa pertama, negara-negara kecil dapat menggunakan kekuatan ideasional yang cukup besar di lembaga-lembaga internasional. Kedua, Kuwait menentang klaim baru-baru ini bahwa negara-negara Arab telah kehilangan minat pada masalah Israel-Palestina.

Oman

Sedikit berbeda dengan tetangganya. Kesultanan Oman menyambut baik pengumuman Maroko untuk menjalin hubungan diplomatiknya dengan Israel. Kebijakan diplomasi Oman membawanya sebagai “pulau netralitas” di kawasan yang terus bergejolak. Muscat telah lama menjadi jembatan diplomatik yang kredibel antara Israel-Palestina, AS-Iran, serta negara-negara Arab-Iran. Untuk langkah normalisasi ini, Muscat kemungkinan akan menunggu dengan sabar. Faktor penentu Oman adalah Iran.  Oman selalu menjadi negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang paling sensitif terhadap kepentingan keamanan Iran. Sebagai satu-satunya anggota GCC yang netral dalam perang Iran-Irak (1980-1988) dan satu-satunya negara Teluk Arab yang terlibat dalam latihan militer bersama dengan Iran. Oman dengan hati-hati telah menyeimbangkan dirinya secara geopolitik antara Teheran dan Riyadh.

Selama bertahun-tahun, hubungan Oman dengan Iran didasari oleh rasa saling percaya dan menghormati satu sama lain. Hubungan ini yang akan terus dijaga di bawah pemimpin baru Oman, Sultan Haitham bin Tariq al-Said. Oleh karenanya, Oman berfokus untuk terus bekerja atas nama perdamaian. Oman juga berharap agar proses normalisasi in akan meningkatkan upaya yang bertujuan untuk mencapai perdamaian yang komprehensif, adil, dan mengikat di Timur Tengah.

Tunisia

Sejak tahun 1950-an, negara maghreb seperti Maroko dan Tunisia mengadopsi kebijakan yang menyetujui berbagai tindakan normalisasi dengan Israel walaupun saat ini baru Maroko yang secara terus terang menandatangani perjanjian damai antara keduanya. Sejak 1956, Pemerintah Tunisia di bawah Habib Bourguiba telah menentang nasionalisme Arab yang dipimpin Gamal Abdul Nasser. Meskipun rezim Tunisia mengkritik Israel atas pendudukannya di tanah Palestina, kontak kedua negara tidak pernah berhenti hingga sekarang.

Pengganti Bourguiba, Zeinal Abedin Bin Ali (1987-2011) juga mengizinkan Israel membuka kantor untuk memajukan kepentingannya di Tunisia pada tahun 1996. Begitu juga sebaliknya, sebuah biro Tunisia didirikan di kota Tel-Aviv. Perdagangan timbal balik antara para pihak yang terkait tidak pernah berhenti dan cakupannya serta tidak dipengaruhi oleh masalah dalam situasi politik atau keamanan di Israel maupun Tunisia. Terbaru ini, Perdana Menteri Tunisia, Hichem Mechichi mengatakan bahwa negaranya menghormati langkah yang diambil Maroko, namun tidak berniat mengikuti jejaknya yang menormalisasi hubungan dengan Israel. Ia menambahkan bahwa setiap negara memiliki realitasnya sendiri, kebenarannya sendiri, dan langkah diplomasinya sendiri, dan apapun itu untuk kebaikan bagi rakyatnya.

Aljazair

Selain itu, Perdana Menteri Aljazair, Abdelaziz Djerad mengecam keputusan tetangganya Maroko untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Aljazair menuduh langkah Maroko sebagai upaya untuk membuat negaranya tidak stabil. Dia juga mengeluhkan rencana Maroko untuk membawa entitas Israel dan Zionis ke dekat perbatasan negaranya. Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune menegaskan bahwa Aljazair tidak akan pernah menjadi bagian dari kesepakatan untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Bagi Aljazair, sebelum melakukan normalisasi dengan Israel, masalah palestina harus diselesaikan terlebih dahulu. Solusi masalahnya adalah mendirikan negara Palestina yang sah dengan perbatasan teritorial negara tahun 1967 dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya.