Psikologi pasca Perang Dunia Kedua menjadi ilmu yang didedikasikan untuk penyembuhan. Berkonsentrasi pada perbaikan kerusakan dengan menggunakan model penyakit fungsional manusia. Tujuan dari psikologi positif adalah membuat orang berubah pikiran, dari fokus pada penyelesaian hal-hal terburuk dalam hidup hingga membangun kualitas hidup terbaik. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan sebelumnya. Ini semua harus dilakukan bersama dalam menempatkan pembangunan kekuatan di garis depan dalam perawatan dan pencegahan penyakit mental. (Seligman, 2002: 3).
Bidang dari psikologi positif melibatkan pengalaman subjektif positif: kebahagiaan dan kepuasan (masa lalu); mobilitas, kesenangan, kenikmatan indrawi dan kebahagian (saat ini); persepsi kontruktif tentang optimisme, harapan, dan keyakinan masa depan. Pada tingkat pribadi, semua ini tentang kualitas pribadi yang positif, kemampuan untuk mencintai, keberanian, keterampilan interpersonal, kepekaan estetika, ketekunan, pemaaf, orisinalitas, pemikir masa depan, bakat dan kebijaksanaan yang tinggi. Pada tingkat kelompok, kebijakan sipil dan kelembagaan memungkinkan individu untuk bergerak menuju masyarakat yang jauh lebih baik, tanggung jawab, mengayomi, altruisme, sopan santun, kesederhanaan, toleransi, dan etika profesional. (Seligman, 2002: 3).
Meskipun spesialis psikologi yang berhubungan dengan anak mengenali masalah serius yang mereka hadapi dalam proses perkembangan mereka, sebagian besar orientasi baru-baru ini tidak lagi memperhatikan cacat psikologis dan perilaku yang disebabkan oleh tantangan dari perkembangan itu sendiri. Sebaliknya, fokusnya semakin meningkat pada pemahaman kemampuan anak-anak dan keluarga serta mendorong mereka pada pertumbuhan dalam bidang psikologis. Literatur klinis tentang anak dan sekolah. Psikologis anak sering membicarakan tentang konsep stres dan koping. Secara umum koping adalah respon positif terhadap stres, sebagai respon terhadap kondisi lingkungan negatif atau peristiwa kehidupan, seperti perceraian orang tuanya. (Roberts, Brown, Johnson, & Reinke, 2002: 663).
Siegel (1992: 4) menyerukan untuk meningkatkan perhatian pada perbedaan individu dalam perilaku anak, emosional, dan respon fisiologis terhadap lingkungan mereka. Setiap anak bereaksi berbeda terhadap tekanan lingkungannya. Aspek penting dari mengatasinya ialah bahwa mekanisme dalam mengatasi stres yang terlibat dalam peristiwa kehidupan yang tidak hanya akibat perceraian orang tua atau penyakit, tetapi masalah sehari-hari dalam kehidupan manusia. Misalnya dalam psikologi pediatrik, beberapa model resistensi dan koping telah muncul untuk mengatasi masalah anak dengan penyakit kronis seperti diabetes atau cystic fibrosis. Dalam banyak literatur sebelumnya, konsep koping atau resitensi hanya dilihat sebagai respon terhadap pemicu stres, bukan sebagai gaya perilaku positif dalam penyesuaian, adaptasi, dan penyerapan masa lalu. Namun, menurut Roberts, Brown, Johnson dan Reinke (2002: 664) dalam orientasi psikologis positif, konseptualisasi koping yang komprehensif dan inklusif memandang adaptasi ini sebagai peristiwa perkembangan yang normal dengan banyak fungsi yang serupa.
Psikologi positif memiliki sesuatu untuk ditawarkan dalam proses ini, namun penerapan yang jauh lebih besar adalah dengan melihatnya dalam hal pencegahan. Selain itu, model patologi biasanya mengambil dari perspektif orang dewasa. Dengan asumsi bahwa tujuan dari semua perkembangan manusia adalah untuk mengembangkan karakter orang yang berfungsi secara penuh. Pilihan lain untuk psikologi positif adalah memusatkan perhatian pada anak saat mereka dalam masa pertumbuhan dan berusaha meningkatkan fungsi, kemampuan, dan kesehatan mental secara keseluruhan pada waktu tertentu. Lebih jauh, konseptualisasi psikologi patologi secara historis telah dirumuskan untuk orang dewasa dan kemudian dapat diterapkan juga pada anak-anak dan remaja. (Roberts, Brown, Johnson, & Reinke, 2002: 663)
Pembangunan Karakter
Pengasuhan Berbasis karakter
Pembinaan karakter anak merupakan upaya yang perlu melibatkan semua pihak, baik keluarga inti, keluarga batih (kakek nenek), sekolah, masyarakat maupun pemerintah. Jika antar unsur lingkungan Pendidikan tersebut tidak harmonis maka pembentukan karakter pada anak tidak akan berhasil dengan baik. Pengasuhan orang tua selama masa tumbuh kembang anak sangat berpengaruh terhadap karakter anak di masa depan. (Susilawati, 2018: 16).
Karakter merupakan aspek kepribadian yang melahirkan tanggung jawab dalam menghadapi tantangan dan dapat mengendalikan implus. Terdapat Sembilan karakter: (1) Cinta Tuhan dan semua ciptaan-Nya, (2) Kemandirian, disiplin dan tanggung jawab, (3) Kejujuran dan amanah, (4) Hormat dan santun, (5) Dermawan, suka menolong dan dapat bekerja sama, (6) Percaya diri, kreatif dan pantang menyerah, (7) Adil, (8) Baik dan rendah hati, (9) Toleransi, kedamaian dan kesatuan. Role model positif akan membentuk karakter yang positif, begitu juga sebaliknya. Karena itu, setiap unsur lingkungan hendaknya dibangun secara positif, sehingga karakter anak akan terbentuk secara positif juga. (Susilawati, 2018: 16-17).
Karakter yang Dibangun
Karakter yang perlu dibangun adalah: Yang pertama adalah kecerdasan emosi. Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosi meliputi lima kemampuan utama: kemampuan untuk mengenali emosi diri, kemampuan untuk mengelola dan mengekspresikan emosi diri sendiri dengan tepat, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, kemampuan untuk mengenali emosi orang lain, dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain. Lima kemampuan inilah yang dapat menjadi dasar dari pengembangan karakter anak. (Hartini, 2011: 74-75).
Yang kedua, selain kecerdasan emosi, setiap anak perlu pengembangan kecerdasan dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Stoltz (1997) memperkenalkannya sebagai Adversity Quotient (AQ) atau kecerdasan daya juang yang dapat dimaknai sebagai tingkat kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup serta kecerdasan seseorang untuk tetap bertahan hidup. Pengembangan AQ terhadap anak sangat erat kaitannya dengan pengembangan kecerdasan emosi, karena pada kehidupan masa depan akan mampu dihadapi dengan seorang anak dengan karakter yang terampil mengendalikan diri, terampil berinteraksi sosial, mandiri dan memiliki daya juang tinggi saat menghadapi tantangan dan hambatan. (Hartini, 2011: 75-76).
Yang ketiga, kecerdasan moral. Menurut Michele Borba (2001), kecerdasan moral adalah kapasitas individu untuk mrmahami dan membedakan nilai itu benar atau salah, baik atau buruk. Ia menilai bahwa setiap individu harus memiliki pendirian yang kuat sehingga mampu bertindak dalam berprilaku yang benar. Konsep moralitas secara umum adalah: segala tindakan pengacu pada konsep benar dan baik; konsep benar mengacu pada nilai-nilai indivual, sosial, spiritual, dan religious; konsep baik mengacu pada nilai-nila etika dan estetika; pikiran, kata hati, sikap, dan perbuatan saling berpadu; individu yang mampu berfikir, bersikap dan bertindak secara realistis, rasional, logis dan proposional; berusaha untuk mengembangkan nilai-nilai kebersamaan; dapat berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain secara harmonis; dan menunjukkan sikap professional dan tanggung jawab. (Hartini, 2011: 76-77).
Menurut Borba (2001) ada beberapa indicator dari sebuah prilaku bermoral atau tidak bermoral, yaitu: empati, orientasi individu untuk memahami dan menempatkan diri dalam perspektif orang lain; berdasarkan suara hati, meliputi kejujuran, tanggung jawab, dan integritas; pengendalian diri, meliputi keyakinan terhadap potensi diri; menghargai orang lain dan lingkungan; kebaikan, mampu dalam berorientasi terhadap nilai-nilai kebaikan; toleransi, dapat menghormati dan bertenggang rasa dengan kepentingan orang lain; keadilan, mampu bersikap adil dan proporsional terhadap semua aspek kehidupan. (Hartini, 2011: 77).
Peran Keluarga
Membangun karakter anak adalah proses pengembangan karakter dengan menyeimbangkan antara potensi internal dengan stimulus eksternal. Harapannya anak akan mampu mengoptimalkan segenap potensi positif yang dimilikinya melalui penyelerasan antara faktor internal dan eksternalnya. (Hartini, 2011: 78). Anak sebagai generasi unggul tidak akan tumbuh dengan sendirinya, mereka memerlukan lingkungan yang baik. Perhatian orang tua kepada anak-anaknya sangat diperlukan, karena anak sebagai generasi unggul tidak akan tumbuh dan berkembang secara baik bilamana orang tua mengabaikannya. (Kissanti, 2008: 133).
Orang tua memegang peranan yang sangat penting dalam menjalankan fungsi sosialisasi pada anak-anaknya. Peran orang tua merupakan peran sosial dalam upaya pembentukan kepribadian anak, supaya anak dapat diterima di tengah-tengah masyarakat. Menurut Brunetta (1998), peran merupakan bagian yang terpisahkan dari kelompok masyarakat, dimana keluarga tumbuh dan berkembang karena bagian yang dimainkan setiap keadaan dan cara bertingkah laku dalam menyelaraskan diri dengan keadaan sekitar. Menurut Parsons (dalam Megawangi, 1999) bahwa orang tua memiliki dua peran penting, yaitu instrumental yang dilakukan oleh sepasang suami-istri dan peran emosional yang (biasanya) disandang oleh seorang ibu. (Syamsuddin, 2018: 14-15).
Menurut Hatta Rajasa (2007), dalam proses pembelajaran membangun karakter anak, maka diperlukannya: Pertama, pembangun kembali karakter anak (character builder). Salah satu esensinya adalah berkomitmen untuk menjunjung nilai-nilai moral. Keluarga terutama orang tua harus menjadi penguat pertama untuk menumbuhkankembangkan nilai-nilai moral dalam kehidupan keluarga; Kedua. Pemberdaya karakter (character enabler). Praktisnya adalah komitmen yang kuat untuk menjadi panutan/role model dari pengembangan karakter positif; Ketiga, perekayasa karakter (character engineer). Peran ini menuntut untuk terus menerus melakukan pembelajaran. Selaras dengan perkembangan jaman, maka pengembangan karakter positif anak dituntut adanya modifikasi dan pembaharuan yang sesuai dan tepat. (Hartini, 2011: 78-79).
Simpulan
Psikologi positif dalam persepektif ilmiah adalah bagaimana membuat hidup lebih berharga. Tujuannya adalah memberikan pandangan akhir tentang membangun kualitas hidup yang terbaik. Pada tingkat individu, berbicara mengenai kualitas pribadi yang positif, optimis, kemampuan untuk mencintai, keberanian, keterampilan interpersonal, kepekaan estetika, ketekunan, pemaaf, orisinalitas, pemikir masa depan, bakat dan kebijaksanaan yang tinggi. Sedangkan paada tingkat kelompok, setiap individu untuk dapat bergerak menuju masyarakat yang jauh lebih baik, tanggung jawab, mengayomi, sopan santun, kesederhanaan, toleransi, dan beretika.
Dalam pembangunan karakter unggul dibutuhkan langkah sedini mungkin. Masa anak-anak dan remaja adalah waktu yang tepat dalam membentuk kepribadian yang unggul. Terdapat tiga konsep psikologi positif bagi anak-anak dan remaja, yang pertama adalah konsep optimisme. Bagaimana sesorang anak berpikir perihal sebab dan akibat dari suatu peristiwa. Seorang anak dengan sifat optimisme akan melihat masalah dari sudut pandang yang selalu positif. Kedua adalah konsep harapan, dikatakan bahwa harapan adalah kontruksi penting dalam memahami bagaimana anak-anak menghadapi tekanan dalam hidup mereka serta bisa juga menghindari terperosoknya mereka dalam perilaku yang bermasalah dikemudian hari. Yang ketiga adalah konsep kualitas hidup. Terlepas dari pengertiannya yang umum, bahwa kualitas hidup tidak sekedar pada karakter fisik melainkan faktor psikologis serta keterbatasan pada setiap anak-anak.
Di sisi lain, perlunya ada faktor pendukung dalam pembangunan karakter unggul sejak dini. Pertama, menerapkan pengasuhan anak dengan berbasih karakter. Orang tua harus siap menjadi contoh dan teladan yang baik dan memberikan efek positif terhadap anak-anaknya. Kedua, karakter yang dibangun harus jelas dan terukur. Seperti kecerdasan emosional, kecerdasan daya juang, dan kecerdasan moral. Yang terakhir dan terpenting adalah peran dari keluarga. Orang tua memegang peranan yang sangat penting dan pembentukan karakter unggul pada anak-anak. Dari semua ini diharapkan proses pembentukan karakter dengan penerapan psikologi positif terhadap anak-anak akan memiliki karakter yang unggul, beretika, bermoral, beretos dan beretiket.
Data Pendukung
AB, Syamsuddin. (2018). Cahaya Hidup Pengasuhan Keluarga (Fungsionalisme Struktural dan Interaksionisme Simbolik). Ponorogo: Wade Group.
Budiseryani, I. G. A. P. W. & dkk. (2018). Psikologi Positif Dalam Perkembangan Manusia. Denpasar: Udayana University Press.
Peterson, C. & Seligman, M. E. P. (2004). Character Strengths and Virtues: A Handbook and Classification. New York: Oxford University Press.
Probowati, Y., Handoyo, S. & Matulessy, A. (2011). Pendidikan Karakter: Perspektif Guru dan Psikolog. Malang: Penerbit Selaras.
Snyder, C. R. & Lopez, S. J. (2002). Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.