Menurut lembaga survei yang dilakukan Wahid Institute pada awal tahun 2020 menunjukkan radikalisme dan intoleransi cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Semula sekitar 46 persen menjadi 54 persen. Kementerian Agama melalui lembaga survei (Lakip) mengatakan 50 persen pelajar setuju dengan aksi radikalisme dan 52,3 persen setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama. Sedangkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memiliki sureveinya sendiri, menurutnya potensi radikalisme di tahun 2019 mengalami penurunan hingga 16,69 persen dibanding tahun 2017.
Isu radikalisme kembali mencuat. Bukan karena aksi kelompok radikal yang menghancurkan tempat ibadah atau melakukan aksi pengeboman, melainkan dihebohkan dengan pernyataan mantan Menteri Agama Indonesia (Menag) Fachrul Razi. Dikatakan bahwa paham dan gerakan radikal biasa dibawa dan disebarkan melalui seseorang yang good looking, penguasaan bahasa Arab yang fasih, serta para penghafal Al-Qur’an.
Melalui pendekatan teori analisi wacana kritis Norman Fairclough, dapat disimpulkan ada tiga tingkatan analisis yaitu teks, proses produksi (membuat, menulis, dan berbicara) dan menerima (membaca, mendengar, dan menafsirkan) teks, dan konteks sosial yang lebih besar dimana teks diciptakan dan dikonsumsi. Analisa wacana kritis mempertimbangan aspek kekuasaan, budaya dan ideologi. Ada tiga efek dari wacana model Norman Fairclough. Pertama, wacana memberikan andil dalam mengkonstruksi identitas sosial. Kedua, wacana membantu mengkonstruksi relasi sosial di masyarakat. Ketiga, wacana memberikan kontribusi dalam mengkonstruksi sistem kepercayaan dan pengetahuan.
Dalam hal ini, Fachrul selaku pemerintah (kekuasaan) berperan dalam merubah pemahaman dan opini masyarakat terkait konsep dan makna radikalisme. Konsep kekuasaan pada analisis wacana kritis adalah alat yang kerap dipakai untuk mengontrol sesuatu. Wacana berperan dalam pembentukan sosial masyarakat, budaya, dan ideologi. Tampak jelas wacana yang dikembangkan Menag, diantaranya melabeli radikalisme pada individu atau kelompok Islam. Kelompok radikal kerap dikaitkan sebagai ancaman berbahaya bagi ideologi Pancasila dan NKRI karena dianggap ingin merubah ideologi dasar negara dengan ideologi Islam. Pelabelan radikalisme juga terjadi pada sarana media sosial khususnya situs-situs Islam, sehingga tak jarang terjadi pemblokiran dengan alasan ditemukan dalam situs tersebut mengandung konten yang mengajak jihad atau mendirikan khilafah.
Hasil dari paradigma yang dibentuk Menag membuahkan kebijakan-kebijakan yang dipandang menyudutkan umat Islam, misalnya saja ingin membatasi penggunaan cadar dan celana cingkrang pada instansi pemerintah. Kemudian menggagas sertifikasi penceramah karena beranggapan gerakan radikalisme sudah masuk ke dalam masjid-masjid. Kemudian merevisi kurikulum pendidikan agama di madrasah yang menyangkut tema khilafah dan jihad.
Belum lagi usulan dari Pesiden Jokowi tentang perubahan istilah menjadi manipulator agama. Dilihat dari maknanya saja sudah sangat berbeda. Radikalisme belum tentu manipulator agama, sedangkan yang memanipulasi agama tak sepenuhnya kelompok radikal. Manipulator bisa digambarkan seseorang yang sudah mengetahui kebenaran tetapi mencoba memanipulasi orang lain dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Sedangkan Radikalisme dalam KBBI memiliki tiga makna , dan dari ketiga maknanya lekat dengan istilah kekerasan.
Karenanya, menyematkan kata radikal dalam artian buruk sangat kontradiktif dengan ajaran dasar agama itu sendiri. Agama mengajarkan kasih sayang kepada semua makhluk. Islam pun secara etimologis memiliki makna keselamatan dan kedamaian. Bagaimana mungkin menggandengkan radikalisme dengan Islam? Kalaupun ada seorang muslim yang melakukan tindakan kekerasan, maka pelabelan radikal cukup pada personal, bukan pada agamanya.
Lalu bagaimana radikalisme bisa kita bendung bersama?
Ada beberapa tahapan yang perlu kita lakukan. Tahapan pertama dimulai pada diri masing-masing. Setiap individu bergerak bebas menurut keinginannya, tapi bisa juga terikat dalam struktur sosial. Karenanya selalu berusaha untuk memperbaiki kualitas diri. Dimulai dengan memahami agama yang utuh dan menyeluruh, beribadah dengan baik dan benar serta tidak berlebihan, tidak mudah terbawa hawa nafsu, mempunyai karakter yang kokoh, dan memiliki intelektual serta wawasan yang luas.
Kedua, memperkuat peran keluarga. Fungsi dasar keluarga adalah merawat dan melindungi anggota keluarganya agar mampu mengendalikan diri dan mempunyai jiwa sosial. Orang tua bertugas dalam pembentukan karakter anak dengan menanamkan nilai-nilai edukatif dan religius. Seorang ibu memiliki peran yang besar, perasaan dan pemikiran seorang ibu dapat memberikan pengaruh yang kuat dalam perkembangan seorang anak.
Ketiga, lingkungan masyarakat, lingkungan sekolah dan peran tokoh agama. Upaya penangkalan bisa dengan menciptakan suasana guyub dan rukun. Lingkungan sosial yang terbiasa gotong royong, harmonis, saling membantu satu sama lain adalah modal penting yang harus dibangun dan dilestarikan pada masyarakat. Tradisi dan budaya yang kuat tentang bagaimana hidup berdampingan dan saling menghargai.
Tahapan berikutnya ialah peran pemerintah. Paradigma baru harus dilakukan. Pola pendekatan dalam mengatasi radikalisme harus diubah. Perlu diyakinkan kembali, bahwa radikalisme tidak lagi identik dengan Islam dan agama tertentu atau individu dan kelompok tertentu. Struktur-struktur yang terdapat dalam masyarakat diinternalisasi oleh aktor-aktor sosial sehingga berfungsi secara efektif. Jadi pemerintah perlu lebih masif merangkul semua kalangan pemuka agama apapun dan semua elemen masyarakat manapun
Akar masalah
Fokus utama pemerintah seharusnya adalah menyediakan keadilan dan kesejahteraan pada aspek ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Seperti halnya sumber daya alam yang sangat melimpah, tapi nyatanya belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Kemiskinan dan pengangguran juga semakin meningkat. Adanya ketidakseimbangan antara harapan rakyat dengan kinerja pemerintah ataupun dewan perwakilannya yang memunculkan rasa ketidakpercayaan publik yang tinggi. Belum lagi masalah hukum dan hak asasi manusia yang terlihat memihak dan berat sebelah.
Tentunya dari semua tahapan, rasanya perlu bersinergi dan terus bekerja sama dalam membentengi radikalisme. Semua upaya yang dilakukan pemerintah tidak akan membawa hasil yang maksimal tanpa kesadaran individu serta peran keluarga dan masyarakat. Kita percaya, dengan pendekatan baru yang lebih substansif serta memahami pola tahapan-tahapan tersebut, kita dapat mencegah dan memberantas radikalisme tanpa menuduh atau menyalahkan agama tertentu.