Air adalah kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan konsumsi, pertanian, dan Industri. PBB dalam hal ini di WWAP (World Water Assessment Programme) memperkirakan bahwa setiap individu membutuhkan 20-50 liter air bersih setiap hari. Air menutupi bumi hampir tiga perempat bagian, kita cenderung menganggapnya sebagai sumber daya yang melimpah, namun pada kenyataannya air yang dapat kita konsumsi sangatlah langka.
Kelangkaan air dapat menyebabkan konflik kekerasan. Konflik sumber daya air telah terjadi di berbagai belahan dunia, misalnya pada tahun 1999 dan 2006 yang terjadi di Yaman dan . Konflik yang terjadi di wilayah Darfur, , disebabkan karena kelangkaan sumber daya air. Begitupun yang akan terjadi pada wilayah lembah Sungai Nil, alirannya melewati 3 negara yang sama-sama memiliki klaim hak atasnya.
Sungai Nil dibentuk oleh dua aliran utama, aliran Sungai Nil Biru yang mengalir dari dataran tinggi Ethiopia dan aliran Sungai Nil Putih yang muncul di wilayah Great Lakes di Afrika Tengah, kemudian mengalir ke utara melewati Tanzania, Danau Victoria, Uganda, dan Sudan Selatan. Kedua aliran Sungai Nil Biru dan Putih bertemu tepat di utara Khartoum, Sudan kemudian mengalir ke hingga bermuara di Laut Mediterania. Lebih dari 6.600 kilometer, sungai ini mengalir dari selatan menuju utara dengan melewati perbatasan 11 negara Afrika yang menjadikan sungai terpanjang di dunia.
Saksi Sejarah Mesir Kuno
Sungai ini menjadi saksi sejarah kehidupan Mesir kuno. Para ilmuwan menyebutkan sekitar lima juta tahun yang lalu, Sungai Nil telah berperan penting dalam penciptaan peradaban kuno. Menjadi sumber irigasi untuk mengubah daerah kering di sekitarnya menjadi sebuah lahan pertanian yang subur. Ahli sejarah juga mengatakan, selama pemerintahan Raja Djoser (sekitar 2650-2600 SM) negeri Mesir dilanda kelaparan dan kekeringan dahsyat yang berlangsung selama tujuh tahun. Djoser bermimpi bertemu dengan dewa Khnum, ia diperintahkan untuk memperbaiki kuil yang tidak terawat di Pulau Elephantine (sebuah pulau di tengah Sungai Nil, wilayah Aswan). Setelah kuil itu diperbaiki, maka kelaparan terangkat dan Mesir kembali subur. Kisah ini diceritakan pada Prasasti Dinasti Ptolemeus (332-330 SM) yang menggambarkan betapa pentingnya Sungai Nil bagi masyarakat Mesir.
Sungai ini kemudian dikenal sebagai "Mother of All Men" karena dianggap sebagai manifestasi dari dewi Ma'at yang mewujudkan konsep kebenaran, harmoni, dan keseimbangan. Sungai ini menjadi bagian integral dari kehidupan, pengetahuan, dan perdagangan Mesir. Digambarkan sebagai keajaiban yang menakjubkan. Berkat sungai inilah Mesir mendapatkan julukan "Ummu Ad-Dunya" yang merujuk dari sejarah sebagai salah satu peradaban awal di dunia.
Bangkitnya Ethiopia
Pada tahun 2011, Ethiopia mulai membangun The Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD). Rasa khawatir mulai muncul pada masyarakat Mesir. Sebuah pembangkit listrik tenaga air yang dibangun di atas aliran Sungai Nil Biru akan digadang menjadi bendungan terbesar di Afrika.
Bendungan tersebut adalah impian manufaktur dan industri Ethiopia. Mereka mengalami kekurangan pasokan listrik yang parah, dengan 65% populasinya tidak terhubung dengan jaringan listrik. Setelah selesai pembangunannya, bendungan ini diharapkan dapat menghasilkan 6.000 megawatt. Energi yang dihasilkan akan cukup untuk memenuhi kebutuhan warganya.

Permasalahan yang Muncul
Ada dua permasalahan yang terjadi pada proyek pembangunan bendungan, yaitu:
Pertama, Ethiopia berencana akan mengisi bendungannya dalam waktu enam tahun, yang akan dimulai pada musim hujan akhir tahun 2020. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisinya, maka semakin kecil dampaknya pada permukaan sungai. Namun Mesir sangat menolak dan memberikan usulan untuk menambahkan periode pengisiannya. Mesir khawatir jika pengisian bendungan dilakukan dengan cepat, maka permukaan sungai yang melewatinya akan turun drastis, terutama pada fase awal pengisian
Kedua, Mesir menuntut adanya mekanisme baru yang tepat dan mengikat dalam negosiasi terakhir, namun Ethiopia menolak dan akan terus menyelesaikan rencananya.
Mesir Menolak! Kenapa?
Pada perjanjian yang telah dilakukan pada tahun 1929, antara kolonial Inggris dan Mesir yang berisi tentang pemberian hak Mesir atas penguasaan penggunaan air sungai, serta melakukan hak veto terhadap proyek apapun yang dapat menimbulkan risiko kemanan air Mesir. Ditambah dengan perjanjian di tahun 1959 dengan yang secara sepihak memperkuat posisi Mesir dalam menguasai penuh air sungai. Ethiopia merasa bukan bagian dari semua perjanjian itu, maka mereka menolak dan tetap melakukan pembangunan tanpa meminta persetujuan dari Mesir bahkan Sudan
Hak sejarah Mesir atas telah mendorong ketergantungan yang lebih . Kurangnya curah hujan membawa Mesir pada kelangkaan sumber air dan terbatasnya lahan subur, mengakibatkan mesir bergantung pada impor pangan. Sektor pertanian Mesir saat ini menggunakan 80% dari pasokan air sungai, namun tingkat produksi dalam negerinya masih jauh dari permintaan rakyatnya. Sejalan dengan tren ketergantungan yang tinggi, Mesir juga dihadapkan dengan pertumbuhan populasi yang terus meningkat pesat. Mereka akan membutuhkan pasokan air lebih banyak daripada saat ini, mereka juga dihadapkan dengan tantangan mengatasi kelangkaan air di masa depan
Mesir merupakan pemain penting di benua , ruhnya mulai memudar seiring dengan munculnya kekuatan baru Ethiopia. Presiden Mesir Abdel Fattah El Sisi selama masa jabatannya mengadalkan retorika keamanan nasional dan pembaruan di Mesir. Merasa kehilangan pengaruhnya di kawasan, Mesir berusaha mendekati negara-negara lain seperti Arab Saudi dan Uni Emirates Arab untuk menciptakan keretakan hubungannya dengan Ethiopia. Mesir juga meningkatkan kerja sama diplomasi dan keamanan bilateral dengan negara tetangganya, seperti upaya mengajak Sudan agar masuk dalam barisan penolakan bendungan Ethiopia.

Reaksi Ethiopia
Ethiopia menanggapi langkah ini dengan rencana ambisinya dalam membangun kekuatan angkatan lautnya di Laut Merah dan Teluk Aden. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Abiy Ahmed, mereka memulai pemulihan hubungannya dengan musuh lamanya, Eritrea. Abiy menginginkan aliansi tersebut membuka jalan di era baru dengan perdamaian regional dan integrasi di tanduk Afrika.
Posisi Sudan
Negara-negara tetangga Ethiopia yang terdiri dari Sudan, Sudan Selatan, Kenya, Djibouti, dan Eritrea kemungkinan besar akan mendapatkan manfaat dari tenaga yang dihasilkan oleh bendungan tersebut. Terkhusus bagi Sudan, mereka akan mendapatkan keuntungan tambahan. Biasanya Sudan di musim hujan antara bulan Agustus hingga September mengalami banjir parah, namun setelah pembangunan bendungan selesai maka mereka akan mendapatkan kontrol pada aliran sungai sepanjang tahun.
Sebelum rezim Omar basyir digulingkan, Sudan sudah dalam posisi mendukung penuh atas pembangunan bendungan tersebut. Kemudian dukungan itu dilanjutkan oleh Dewan Transisi Sudan. Didukung oleh kondisi hubungan yang erat antara Perdana Menteri Ethiopia Abiy dengan Perdana Menteri Sudan Abdullah Hamdouk. Kedua negara sama-sama memiliki keuntungan, Sudan akan terus mendukung pembangunan dan Ethiopia akan terus mendukung penghapusan Sudan dari daftar negara yang mensponsori terorisme.

Bagaimana sekarang?
Dialog sudah sering dilakukan oleh ketiga negara, mulai dari pembicaraan tiga arah tentang pengoperasian bendungan hingga mekanisme pengisiannya. Namun selama delapan tahun lebih belum ada hasil yang disepakati bersama. Ada kekhawatiran mereka akan terlibat dalam konflik yang lebih nyata. Mesir berencana akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi haknya. Sedangkan Ethiopia juga tidak akan mengalah.
"Tidak ada satupun kekuatan yang dapat menghentikan Ethiopia dalam membangun bendungan ini." Ungkap Abiy, Perdana Menteri Ethiopia.
Amerika Serikat dan Uni Afrika juga turut serta dalam membantu menyelesaikan masalah. Konflik yang terjadi antara kedua negara (Mesir-Ethiopia) yang sama-sama sekutu dari Amerika Serikat ini, dapat menarik kepentingan global serta mengancam rute perdagangan internasional di Terusan Suez dan di sepanjang kawasan Tanduk Afrika.
Sejatinya Mesir dan Sudan sepakat perihal pentingnya mencapai keuntungan bersama, namun masing-masing dari mereka memiliki visi sendiri dalam menangani langkah-langkah yang diambil Ethiopia. Mesir memulai langkahnya dengan mengirimkan kasus ini ke Dewan Keamanan PBB. Mereka mengambil langkah diplomatik untuk mencegah Ethiopia dalam melakukan langkah sepihak.
Sementara Sudan terlihat lebih defensif dan berusaha menjadi penengah di antara Mesir dan Ethiopia. Pakar Keamanan dan Militer Sudan, Dr. El Amen Abdel Razek, menyarankan kepada keduanya untuk saling menahan diri, jalan yang benar dalam mencapai kesepakatan adalah dialog tripartit dan tidak membenarkan segala tindakan pada opsi eskalasi militer. Menurutnya pilihan opsi militer adalah pilihan yang sia-sia bagi semua pihak. Letak geografis antara Mesir dan Ethiopia yang dibatasi oleh Sudan serta jaraknya yang cukup jauh akan menyulitkan semuanya.
Kekuatan suatu bangsa dan peluangnya untuk bertahan hidup sangat bergantung pada faktor geografis, populasi, kapasitas industri, dan sumber daya alam. (Boland III 1992). Masing-masing negara memiliki arti penting dari sebuah sungai. Mesir merasa memiliki hak sejarah dan ketergantungannya yang hebat, Ethiopia merasa bahwa mereka juga memiliki hak atas pemanfaatan sungai yang selama ini kurang terasa manfaatnya, sedangkan Sudan tepat berada di antara kedua negara (Mesir-Ethiopia) dan kedua Nil (Nil Biru-Nil Putih).
Ketiga negara sepakat untuk terus membahas masalah ini. Melibatkan tiga orang menteri perairan dari setiap negara serta perwakilan dari Uni Afrika, Uni Eropa dan Bank Dunia. Pembicaran melalui enam anggota tim tersebut diharapkan akan menghasilkan titik terang dari permasalahan yang terjadi di aliran Sungai Nil.