Menurut Mona Abaza, banyaknya pendukung Islamisasi yang mulai bereaksi terhadap paradigma pengetahuan Barat membuat permasalahan menjadi lebih rumit. Namun positifnya mungkin saja dapat dijadikan sebuah bahan latihan intelektualitas para ilmuwan Barat dan muslim sendiri. Seperti halnya konsep Konstruktivisme yang dikenalkan Karin Knorr (1991) yang menganalisis konteks dan bahasa komunistas ilmiah. Karenanya muncul berbagai penelitian yang menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah dibangun secara sosial dan menekankan aspek relativisme dari pengetahuan itu sendiri. Namun, tren studi konstruktivis dan juga relatisme menghadapi kenyataan yang dianggap memiliki standar ganda dalam membesarkan relativisme itu sendiri, serta dianggap mengabaikan keabsahan ilmu pengetahuan.
Di dunia Arab sendiri, para ilmuwan Islamis banyak yang mengkritisi wacana Islamisasi ilmu pengetahuan. Secara historis, pencarian sumber harus berdasarkan bukti otentik yang jelas, tidak serta-merta mengadopsi di luar sumber paling sah (Qur’an dan Sunnah). Oleh karenanya mereka mencatatkan akan terjadi bahaya transendentalisme serta penerapan interpretasi metafisik yang nantinya berujung inkuisi terhadap ilmuwan yang dianggap sebagai lawan politik. Kemudian memberikan ruang yang tak tersentuh jika ulama diberikan kekuasaan lebih atas sebuah komunitas ilmuwan. Mereka juga berkesimpulan bahwa wacana ini dianggap bersifat propagandis, menyebarkan ideologinya di negara-negara Islam lainnya dengan membiayai berbagai konferensi internasional serta jaringan-jaringan Islam internasional lainnya.
Mona Abaza, dalam makalah ini mencoba untuk melihat konteks serta internasionalisasi perdebatan tersebut. Menurutnya, penolakan terhadap nilai-nilai “impor” dan sama-sama sebagai alat sosiologis yang dapat diklasifikasikan secara luas di bawah rubrik “invasi budaya”. Konsekuensi yang terjadi langsung adalah hasil dari sebuah interaksi yang kompetitif antara Timur dan Barat. Wacana tersebut harus dikontekstualisasikan dalam hubungan dialektis Barat atau Timur daripada wacana adat ketimuran yang sudah lama melekat. Untuk saat ini, orang-orang harus mulai memperhatikan fakta bahwa kita berurusan dengan pemahaman baru tentang lembaga “Islam” yang salah satu tujuannya adalah mempromosikan sebuah prospek Pendidikan alternatif. Misalnya, Universitas Islam Internasional di Kuala Lumpur yang tidak ada hubungannya dengan pengembangan budaya Melayu atau Islam Melayu, tetapi lebih menekankan pada transformasi ilmu pengetahuan modern. Banyak dari pengajarnya lulusan Pendidikan Barat, tinggal lama di Eropa atau bahkan Amerika, kemudian mereka menyebut dirinya sebagai seorang cendekiawan muslim modern.
Istilah Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya pertama kali dikemukan pada Konferensi Dunia Islam Pendidikan Muslim yang berlangsung di Mekah pada tahun 1977. Tiga tokoh penting yang terkait dengan konferensi tersebut adalah Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naqieb al-Attas, dan Sayyed Hossein Nasr. Namun ketiga memaparkan pemahamam yang berbeda tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Misalnya saja, al-Attas menyuarakan slogan seputar “de-westernisasi pengetahuan” dan Hossein Nasr memaparkan filsafat dan sains Islam. Konferensi tersebut akhirnya mendorong terbentuknya dua lembaga yang sama yaitu Universitas Islam Internasional di Islamabad dan di Kuala Lumpur, namun sedikit berbeda dengan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Mesir. Menurut al-Faruqi, secara khusus tujuannya adalah untuk mengembangkan paradigma pengetahuan alternatif ilmu alam dan sosial dan juga untuk memahami dalam bentuk disiplin ilmu yang paling relevan dengan kebutuhan masyarakat Muslim kontemporer.
Mona Abaza menyoroti secara khusus sebuah variasi dan persepsi kontras antara negara Malaysia dan Mesir, yang sama-sama memperdebatkan Islamisasi ilmu pengetahuan. Mona mencoba menunjukkan bahwa di Malaysia terdapat perdebatan Islamisasi ilmu pengetahuan yang memiliki dampak kelembagaan yang lebih serius dibandingkan yang terjadi di Mesir. Di Malaysia, wacana tersebut menyangkut sains dan Islam, dimana keduanya terikat secara erat dengan Islam institusional. Para penggerak wacana ini berada pada posisi strategis dalam dunia akademik, percetakan dan media massa, serta pemerintahan. Karenanya, simbol-simbol Islam semakin luas dipertontonkan di ruang publik. Misalnya saja pada kebijakan pemerintahan Mahathir di awal tahun 1970-an yang mengarah pada Islamisasi pemerintahan. Terlihat dari peningkatan jumlah program dan kebijakan yang lebih Islamis. Begitu juga yang terjadi pada tahun 1988, adanya perubahan serta kenaikan posisi pengadilan agama yang setara dengan pengadilan sipil Malaysia.
Mona Abaza menilai bahwa terdapat perbedaan yang cukup terlihat antara Malaysia dan Mesir. Antara lain adalah:
- Secara fakta Malaysia adalah salah satu negara muslim yang komunitasnya lebih kecil dibandingkan negara Mesir. Namun, Malaysia dapat dikategorikan sebagai salah satu negara muslim yang paling cepat berkembang. Inilah yang menjadikannya sebagai daya tarik bagi negara-negara muslim di Timur Tengah, terkhusus Mesir.
- Bahwa perdebatan wacana Islamisasi ilmu pengetahuan di Malaysia lebih dikonkretkan oleh mantan pelajar muslim militan yang menempati posisi sentral di pemerintah, misalnya Anwar Ibrahim. Wacana tersebut digerakkan dari bawah hingga atas yang mengarah pada pembentukan institusi Islam. Sedangkan di luar tubuh pemerintahan, wacana ini dikembangkan melalui gerakan mahasiswa dan berbagai partai Islam untuk melawan oposisi.
Dalam merespon kebangkitan Islam di Malaysia, pemerintah memilih untuk terus meningkatkan dan melebarkan sayap Islamisasi melalui media masa. Program keagamaan secara konstan menekankan peleburan antara teknologi modern dengan iman. Jika melihat salah satu program yang selalu tayang di acara bulan Ramadhan yaitu program buka puasa. TV nasional banyak menampilkan sebuah adegan seorang pilot yang sedang berbuka puasa dengan sebuah kurma sambil menerbangkan pesawat terbang. Namun Mona Abaza menilai, jika diperhatikan lebih jauh, bahwa adanya kebangkitan artefak budaya Melayu, India, dan Cina -bukan hanya Islamisasi- berupa pakaian dan tradisi yang bercampur dengan selera konsumen dan tradisi kebarat-baratan. Dengan kata lain, Islamisasi di Malaysia sejatinya sejalan dengan konsumerisme dan westernisasi.
Perbedaan yang terlihat pada titik kesejahteraan dari kedua negara. Mona Abaza mengatakan bahwa kelas menengah di Malaysia sedang mengalami naik daun pada strata sosialnya, mereka dapat melemahkan konfrontasi para ilmuawan sekuler dengan menyandingkannya dengan ilmuwan Islamis. Ia juga menduga adanya fakta bahwa lembaga-lembaga Islam menampilkan tampilan modernitas dan kebaruan agar dapat diterima lebih luas oleh publik, inilah yang tidak ditemukan di Mesir. Jadi, meskipun kehidupan publik di Malaysia terlihat lebih tertib, namun pada konteks perdebatan wacana dan konfrontasinya lebih menggairahkan di Mesir.
Contoh paling jelas Islamisasi ilmu pengetahuan di Malaysia terletak pada sebuah institusi pemikiran dan peradaban Islam atau yang lebih dikenal ISTAC. Sang pelopornya adalah Syed Muhammad Naqieb al-Attas. Berbicara Islamisasi ilmu pengetahuan di Malaysia memang tidak dapat terlepas dari seorang yang bernama al-Attas. Ia disebutkan salah satu ilmuwan muslim pertama yang menggagas wacana tersebut. Ia mengenalkan pada dunia Islam sebuah ilmu pengetahuan kontemporer atau modern. Dikatakan bahwa al-Attas juga termasuk sosok penting dalam merangsang para mahasiswanya untuk memperkaya literatur revivalis kontemporer, terkadang ia mengundang beberapa muridnya untuk berkumpul melingkar di rumahnya. Baginya, ISTAC adalah sebuah visi yang mengarahkan Islam pada kekuasaan, kejayaan, kemewahan, dan modern.
Berbiara tentang Islamisasi ilmu pengetahuan di Mesir Mona Abaza memfokuskan kajiannya pada aktifitas para para pengusung gagasan ini, dan tidak banyak berbicara terkait keterlibatan pemerintah atau pemanfaatan islamisasi ilmu pengetahuan untuk tujuan politik. Dalam pandangan Mona Abaza, Islamic International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Zamalek memiliki peranan penting dalam upaya Islamisasi ilmu pengetahuan di Mesir. Lembaga ini kerap mengadakan seminar dengan topik yang bervariasi dari Islamisasi ilmu pengetahuan, sains Islam, pandangan Islam kontemporer, isu-isu yang berkaitan dengan filsafat, ilmu pengetahuan Islam kontemporer hingga diskusi seputar kebangkitan Islam. Intelektual yang diundang dalam seminar-seminar tersebut tidak mesti para pengusung Islamisasi ilmu pengetahuan, namun juga terdapat diantaranya para simpatisan atas gagasan ini.
Beberapa tokoh sentral penyuara Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah Saifuddin Abdul Fattah Ismail, Hassan Al-Sa’ati Muhammad Immara. Abdul Fatah Ismail misalnya, mengkritik konsep-konsep yang dibuat oleh barat yang dianggapnya tidak mampu menjelaskan keadaan sosial masyarakat timur. Ia memandang umat muslim harus membuat sendiri konsep versi Islam seperti ummat sebagai pengganti konsep bangsa di barat dan syura sebagai pengganti demokrasi.
Tokoh sosiolog Mesir, Hasan al-Saati menekankan pentingnya Islamisasi ilmu sosial serta penegasan identitas keislaman melalui Lembaga Pendidikan dan pengusung Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Saati penting untuk dilaksanakan melihat fakta yang terjadi yaitu:
- Sikap mengekor kalangan akademisi ke metodologi barat yang justru menyebabkan kemorosotan nilai.
- Cultural Colonialism barat atas timur
- “Evilness” barat yang tercermin dari peranan barat dalam mengajarkan seksualitas bagi kalangan muda yang bertentangan dengan filsafat “kita”1.
Dalam Analisa al-Saati Invasi barat dan dampaknya pada kalangan muda yang termanifestasikan melalui impor barang, budaya dan bahkan toko-toko buku yang mengandung pemikiran revolusioner yang destruktif. Namun beberapa klaim yang dinyatakan oleh Al-Saati menurut Mona Abaza tidak memiliki data yang akurat. Seperti pandangan al-Saati bahwa sebagian publikasi yang dilakukan para guru besar Arab tidak lain adalah Salinan dari sumber barat. Mona Abaza juga mengkritik pernyataan Al-Saati yang menempatkan seolah-olah para ilmuan dan filsuf muslim terabaikan atas campur tangan barat.
Menurut Mona Abaza tokoh paling penting dalam Islamisasi ilmu pengetahuan adalah Muhammad Imarah. Imarah lebih dari 10 tahun sebelum buku ini dibuat telah secara rutin mempromosikan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan Koran al-Wafd. Ia juga meluncurkan serangan kepada kaum sekuler melalui karya nya di International Institute of Islamic Thought (IIIT). Salah satu yang menjadi target serangan oleh Imarah adalah Taha Husein yang dipromosikan oleh pemerintahan Mesir sebagai symbol pencerahan. Tahtawi maupun gerakan reformis al-Afghani tidak luput dari kritik Imarah yang memandang mereka bukanlah sosok pencerah
Adapun sosok sekuler yang paling memberikan dampak negatif bagi Islam adalah Salama Musa yang dianggap sebagai pengekor buta atas barat. Dalam satu pernyataanyna Musa menyeru agar Mesir harus terbaratkan. Mona Abaza mengganggap Imarah mengkutip secara serampangan pendapat Musa yang menyatakan “saya kafir atas timur, dan beriman terhadap barat” dalam upaya imarah untuk menyerang musa dalam kolaborasinya dengan barat. Secara singkat Mona Abaza memberikan komentar atas Imarah bahwa Imarah membela Islam sebagai “the real authentic illuminative project”. Yang dalam mencapainya Imarah menempatkan para pendukung rasionalisme seabagi penirut barat.
Sebagai kesimpulan, Mona Abaza telah menunjukkan perbedaan dalam cara Islamisasi ilmu pengetahuan yang diarahkan secara politis dalam konteks globalisasi. Kasus di Malaysia, wacana tersebut sangat berkaitan dengan kebijakan rezim pemerintahan. Sedangkan untuk Mesir, wacana tersebut mengambil arah polarisasi lama yang kemudian diperbarui antara intelektual sekuler dan kaum Islamis. Mona Abaza juga menyoroti bahwa krisis dunia Arab saat itu tercerminkan dari meningkatnya gerakan anti-rasionalis yang menentang kemajuan, sains, dan akal. Kecenderungan itu tampaknya menentang sosiologis obyetif. Karenanya wacana Islamisasi ilmu pengetahuan nantinya akan mempertaruhkan perdebatan dalam memperebutkan rasionalitas, dan akhirnya menjadi sebuah masalah yang akan dipertaruhkan dalam dunia Islam yang lebih luas di kemudian hari.
Referensi
Mona Abaza (Hal. 53-95). Nelson, C., Rouse, S. (eds.). Situating Globalization: Views from Egypt. Bielefeld: Digital Print. 2000.